Hanya Manusia biasa yang tak sempurna,suka menulis tentang kehidupan sehari hari~

Kamis, 05 Mei 2016

Endless Love CTS (Taiwan Drama) : Episode 6

Recap: Endless Love Ep.6

 
Line 6
Tuan Song memikirkan hasil percakapannya dengan Jing Hao. Jing Hao ternyata bukan orang yang mudah. Saat itu, Jing mengatakan ia sangat miskin dan miskin bukanlah pilihannya. Ia mengikuti tinju itu karena ingin mendapatkan uang dengan cepat. Tapi ternyata mendapatkan uang dengan cara curang membuatnya tersiksa. Lebih baik ia menderita tanpa uang. Jing Hao ingin Tuan Song memberikannya satu kesempatan berupa kepercayaan agar bisa berpacaran dengan Rui En.
“Aku percaya Anda bertindak sesuai dengan omongan,” kata Jing Hao menutup pembicaraan.
Pesta kelulusan guru magang dimulai. Rui En mempersembahkan sebuah tarian khusus untuk Jing Hao. Bo Peep Bo Peep dari T-Ara.
Rui En masih mendesak Jing Hao agar mengatakan apa yang dibicarakan Jing Hao dengan ayahnya.
“Kau tidak usah tahu, dan jangan khawatir. Kau adalah putri satu-satunya ayahmu. Hal yang wajar kalau ayahmu mengkhawatirkanmu.” Jing Hao menenangkan Rui En.
Rui En mengerti.
Sesampainya di rumah. Tuan Song marah pada Rui En karena mendengar Rui En menolak beasiswa sekolah ke Paris.
Rui En kecewa pada ayahnya karena diam-diam pergi menemui Jing Hao dan menghinanya. Tuan Song lebih kecewa lagi, karena Jing Hao sudah mengadu pada Rui En. Rui En mengatakan, ia mendengarnya dari Min Shuo. Rui En pikir, ayahnya berbeda dengan ayah lainnya. Ternyata ayahnya sama saja, munafik. Tuan Song yang dikatai munafik oleh putrinya lantas melayangkan tamparan di pipi Rui En. Rui En menangis. Tuan Song juga menangis.
Rui En kabur dari rumah dengan membawa koper ke rumah Jing Hao. Jing Hao yang baru keluar dari kamar mandi terkejut mendapati Rui En di dalam rumahnya.
“Pintunya tidak dikunci,” ujar Rui En enteng. “Malam ini aku mau tidur denganmu.”
Jing Hao kaget. Rui En masuk ke kamar Jing Hao. Jing Hao ikut masuk ke kamarnya. Sayangnya, Jing Hao tidak menyadari kalau handuk yang melilit pinggangnya terkait di pintu wc, dan terlepas.
Rui En duduk di tepi ranjang sambil melepas satu sepatunya. Tiba-tiba ia syok melihat Jing Hao, dan “Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrggggh!!”
Jing Hao yang baru mengetahuinya, ikutan berteriak panik.
Rui En keluar dari rumah dengan berjingkit-jingkit satu kaki. Sepatunya ketinggalan di dalam kamar. Jing Hao bingung. Bagaimana ini…
Suasana agak kaku, sebentar.
Jing Hao menasihati Rui En. Memangnya Rui En ingin menginap di rumahnya, besok pulang, dan bilang pada ayahnya kalau mereka berdua sudah tidur bersama? Itu yang diinginkan oleh Rui En? Rui En lekas bilang, bukan seperti itu. Jing Hao ingin Rui En percaya padanya. Jika bertindak seperti tadi itu, maka ayahnya tidak akan mempercayainya. Jing Hao ingin memberikan kesan yang baik pada ayahnya Rui En.
“Jadi, aku ingin kau dan aku berjuang bersama-sama. Mau, kan?”
Rui En mengangguk setuju.
“Aku ingin memelukmu, tapi tidak bisa. Aku pun ingin menciummu. Benar-benar membuatku gila. Aku ingin bersamamu tidak hanya karena pelukan dan ciuman. Jadi, jangan datang ke rumahku di tengah malam lagi. Aku takutnya tidak ada orang yang akan menghalangiku.”
Rui En tersenyum.
“Satu lagi. Aku seorang pria. Dan aku ingin membuktikan pada ayahmu kalau aku pria yang bertanggung jawab.”
Sebelum Rui En pulang, mereka mengikatkan benang merah di pergelangan tangan mereka. Harusnya sih ini judulnya bukan Endless Love, tepatnya Red Line.
Rui En pulang ke rumah dan meminta maaf pada ayahnya. Ia sudah mengerti dan mengakui ia salah. Namun, ayahnya hanya diam.
Jing Hao bermain bersama ayahnya. Mereka berpura-pura sedang menaiki roller coaster. Jing Hao menyudahi permainannya dan mendorong kursi roda ayahnya masuk. Di lobi, Jing Hao berhenti menonton acara berita. Di dalam tivi terdapat Song Wang Ji yang akan mengadakan makan malam untuk penawar tertinggi. Uang itu akan digunakan sebagai sumbangan pembangunan rumah sakit yang akan dibangunnya. Makan malam amal.
Jing Hao sibuk di depan laptopnya mengamati artikel mengenai Tuan Song. Baru tahu ia kalau Tuan Song memiliki pengaruh yang besar terhadap dunia bisnis.
Rui En menelponnya untuk mengajak bertemu. Jing Hao mengatakan ia sibuk. Rui En rada mengambek, kalau besok bagaimana? Jing Hao bilang ia tidak bisa lagi, karena ia inginnya bertemu hari ini, besok, dan setiap hari. Rui En ngambeknya mencair. Rui En tersenyum bahagia.
Rui En berada di rumah sakit ketika menelpon Jing Hao. Ia membawakan makan malam untuk lembur Min Shuo. Min Shuo heran, lemburnya nanti malam, tapi siangnya sudah dikirimi bento.
“Nanti malam aku ada kencan,” pamer Rui En dengan senyum bangga.
Min Shuo makan bento yang dibawakan oleh Rui En. Temannya datang dan bilang, bukannya Min Shuo sudah makan? Min Shuo menjawab, “Sayang saja kalau tidak dimakan.” Temannya pergi. Min Shuo kembali berkata, “Mungkin ini bento terakhir yang kumakan.”
Kayaknya, Min Shuo mulai menyesali keputusannya menolak Rui En.
Jing Hao meminjam handycam dari temannya. Ia merekam yang ada disekitarnya, hingga Rui En datang menghampirinya.
“Mana mobilmu?” tanya Jing Hao.
“Hari ini aku mau jalan-jalan sekalian berolahraga.”
“Di kamera wajahmu gendut banget.”
“Mana mungkin! Di cermin wajahku cantik.” Rui En tidak terima.
Jing Hao terus mengamera Rui En. Rui En terjatuh bermain roller blade. Jing Hao mentertawainya. Bahkan, Jing Hao menyindir, “Wah, lantainya jadi retak gara-gara kejatuhan Rui En.”
Jing Hao membantu Rui En berdiri. Rui En malah menarik Jing Hao. Keduanya sama-sama jatuh. Jing Hao masih tetap dengan mengamera Rui En.
Mereka tiba di sebuah gazebo taman. Rui En merebut handycam di tangan Jing Hao. Merekam sekitarnya, disaat Jing Hao lengah, Rui En lekas merekam Jing Hao. Jing Hao menolak untuk direkam. Sekarang, gantian Rui En yang merekam Jing Hao dan menanyakan sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh Jing Hao.
“Kapan kau jatuh cinta pada Song Rui En?”
Jing Hao hanya tersenyum.
“Cepat jawab! Ini saatnya bicara dari hati.” Rui En mendesak.
Rui En senang jalan-jalan bersama Jing Hao tanpa mobil. Bisa merasakan sinar matahari yang hangat. Angin berhembus sejuk. Dan satu lagi, ia bisa memandangi senyum Jing Hao. Kalau lagi menyetir, ia tidak bisa memandangi Jing Hao. Rui En minta CD rekamannya diberikan padanya. Jing Hao memberikannya.
Sebelum pergi, Rui En berkata, “CD ini biar aku yang simpan. Jika kau tidak baik padaku, maka aku akan menyebarkan rekaman ini ke tivi,” ancamnya.
“Kembalikan padaku!” kata Jing Hao.
Rui En tidak mau mengembalikan CD itu dan pergi.
Senyumnya… Manisnya… Klepek-klepek…
Sekretaris Tuan Song melaporkan mengenai beasiswa Rui En. Asrama beserta mata kuliah yang akan ditempuh Rui En nantinya. Lalu, sekretarisnya melaporkan mengenai penawaran terbesar makan malamnya sebesar NT 1.200.000. Tuan Song senang mendengarnya.
Rekan-rekan sesama dokter membicarakan penawaran terbesar makan malam bersama Tuan Song. Salah satu dari mereka menawar dengan 200.000, dan harus tersingkir.
Min Shuo datang dan, salah satu temannya berujar, “Min Shuo, kau tidak ikut makan malam bersama Tuan Song Wang Ji?”
“Untuk apa aku ikutan? Hampir setiap malam aku makan malam dengannya,” kelakar Min Shuo.
Temannya itu agak sebal mendengar Min Shuo. “Aku mendengarmu berkata seperti itu saja sudah sebal. Apalagi orang yang menawar sampai 1.200.000.”
Min Shuo terkejut. 1.200.000?!!
Nyonya Luo makin hari makin memuji Tuan Song. Ia bahkan sengaja membeli bunga yang katanya setahun hanya bisa berbunga sebanyak dua kali. Min Shuo agak kesal dengan penawaran 1.200.000 itu. Masa makan malam harus menghabiskan uang sebanyak itu!? Namun, ibunya malah tidak sependapat dengan Min Shuo. Tidak ada salahnya makan malam sebesar 1.200.000, lagipula itu demi sebuah amal.
Tuan Song siap berangkat ke acara makan malam. Rui En memilihkan dasi yang cocok untuk ayahnya. Tapi Tuan Song menolak dan menyindir, “Ada orang yang tidak mendengarkanku. Masa aku harus mendengarkan orang itu?”
Rui En hanya tersenyum saja.
Di sebuah ballroom hotel.
Tuan Song siap di meja makan sambil menunggu orang yang menawar dengan harga tinggi tersebut. Ia begitu penasaran siapa orangnya. Ia juga bingung, kenapa di meja makan ada laptop. MC acara mengatakan itu atas permintaan dari si penawar. Makin penasaran saja Tuan Song. MC mulai memanggil si penawarnya yang tak lain adalah, Liang Jing Hao.
Pintu masuk terbuka lebar, masuklah Jing Hao dengan berjas rapi. Tuan Song terkejut melihat Jing Hao.
Sementara itu, Rui En sibuk menempelkan gambar permintaan maaf pada sang ayah. Tiba-tiba, NoQ menelponnya dan menyuruh Rui En untuk membuka internet untuk melihat siaran langsung.
Tuan Song berpikir si penawar adalah pebisnis sepertinya. Ternyata perkiraan Tuan Song salah. Si penawar justru orang yang masih muda. Jadi, darimana Jing Hao mendapatkan uang sebanyak itu?
“Makan malam ini tidak sendiri. Aku ada bersama dengan teman-temanku dari internet. Aku telah mengumpulkan 12.000 orang dari internet yang memiliki pemikiran yang sama sepertiku. Masing-masing dari mereka kuminta menyumbangkan NT 100. Jadi Anda tidak makan sendiri, tapi bersama 12.000 orang lagi. Banyak orang muda sepertiku yang tidak memiliki kesempatan. Dan aku akan mewujudkan harapan itu, karena mimpiku tidak terkunci.”
Tuan Song terdiam. Jing Hao melebihi apa yang diperkirakannya.
Rui En menonton Jing Hao dari laptopnya.
NoQ dan Guang Chang pun menonton dan tertawa girang mendengarkan penjelasan Jing Hao. Berbeda dengan Min Shuo yang tidak menyukainya.
Diluar dugaan, sekarang ini telah terkumpul uang sebanyak NT 2.154.300. Tuan Song menjabat tangan Jing Hao dan mengatakan kalau Jing Hao telah membuat kesan yang mendalam untuknya.
Rui En tak pernah menyangka kalau Jing Hao bisa melakukan seperti itu.
Rui En menunggu di depan hotel, ia mengumpet ketika melihat Jing Hao keluar. Jing Hao merasa aneh. Harusnya Rui En melihatnya di siaran internet, tapi kenapa tidak menelponnya?
Jing Hao menelpon Rui En. Rui En menghampiri Jing Hao dan mengangkat telponnya di samping Jing Hao.
“Kukira Kak Jing Hao sibuk membuat persiapan untuk lamaran jadi guru. Ternyata sibuk seperti ini. Kenapa tidak mengatakannya padaku?” omel Rui En.
Jing Hao tersenyum. Mematikan telponnya, menoleh ke sampingnya, dan ia melihat Rui En berdiri di sampingnya.
“Sudah berapa lama menungguku?” kata Jing Hao.
“Sejak aku lahir.”
“Apa?” Jing Hao tidak mengerti.
“Aku sudah menunggu Kak Jing Hao sejak lahir. Dan baru sekarang bertemu. Kak Jing Hao sendiri, sudah berapa lama menungguku?”
“Sebelum Rui En lahir, aku sudah menunggumu. Dan baru sekarang bertemu.”
Aaaaaah, tidak, kata-kata mereka manis banget.
Rui En melingkarkan lengannya di pinggang. “Ayo, aku antarkan pulang.”
Jing Hao berdehem dan melingkarkan lengan di pinggangnya. Rui En menggelayut lengan Jing Hao.
Di rumah, Tuan Song membaca satu-persatu ucapan permintaan maaf dari Rui En yang tertempel di dinding kaca.
Aku tahu aku salah, Yah.
Aku tahu demi membesarkanku, ayah sudah mengeluarkan cinta kasihnya yang sangat besar.
Aku akan jadi anak perempuan yang baik.
Jadi kumohon percayai aku sekali lagi.
Biarkan aku bersama dengan Kak Jing Hao. Ayah…
Setelah membacanya, Tuan Song hanya bisa berkata, “Punya anak perempuan begini imut. Sulit untuk tidak memaafkannya.”
Rui En mengantarkan Jing Hao ke rumah. Padahal Rui En masih ingin bersama dengan Jing Hao lagi. Jing Hao menawarkan akan mengantarkan Rui En jalan pulang. Tapi Rui En menolak, pasti Jing Hao lelah hari ini. Jing Hao mengangguk membenarkan. Jing Hao masuk ke dalam rumah dengan cuek.
Rui En agak ogah-ogahan pulangnya. Jing Hao di dalam rumah tersenyum, lalu ia keluar dari rumah, namun memutari jalan yang berbeda.
Hujan turun.
Rui En berjalan mundur, berharap Jing Hao muncul mengejarnya. Rui En tidak mengetahui kalau Jing Hao muncul dari belakang. Saat Rui En berbalik, ia terkejut melihat Jing Hao di belakangnya.
“Aku takut kau akan direbut oleh orang lain. Rasanya tidak tenang, jadi aku akan mengantarmu.” Senyum Jing Hao.
Rui En berlari memeluk Jing Hao. Jing Hao membuka kedua lengannya menyambut Rui En datang mendekapnya.
Dan, kissing in the rain!
Rui En mendatangi ayahnya di konstruksi bangunan. Tuan Song menyakinkan Rui En apakah masih bertahan dengan keputusannya tidak berangkat ke Paris? Rui En yakin. Karena ia sudah menemukan kesempatannya disini, yaitu Liang Jing Hao. Hanya Liang Jing Hao yang diperlukannya saat ini. Tuan Song merasa putrinya sangat keras kepala, dan akhirnya mengaku kalah. Rui En berlonjak kegirangan.
Tuan Song menyuruh sekretarisnya untuk membawa masuk Jing Hao. Rui En kaget melihat Jing Hao ada disitu. Tuan Song dengan tersenyum mengedikkan kepala menyuruh Rui En agar mendatangi Jing Hao. Rui En berlari memeluk Jing Hao. Jing Hao bengong. Tidak mengerti.
Tuan Song mengatakan ke Jing Hao kalau Rui En ingin melepaskan kesempatan beasiswa ke Paris. Jing Hao terkejut, karena ia tidak tahu mengenai hal ini. Rui En beralasan kalau ia akan mengatakannya tapi tidak sempat. Tuan Song bertanya ke Jing Hao, “Apa kau akan menggenggam atau melepaskan kesempatan ini?”
Jing Hao menjawab ia akan menggenggamnya. Ia menasihati Rui En agar jangan melepaskan kesempatan ini. Tapi Rui En yang keras kepala langsung menolak. Tuan Song memutuskan untuk mengirim mereka berdua ke Paris, bersama-sama dengan Rui En menggenggam impian.

Nyonya Luo datang dengan membawa bunga, “Apa kalian akan menikah!” serunya.
Rui En memperkenalkan Nyonya Luo ini adalah ibunya Min SHuo. Nyonya Luo sudah tahu mengenai Jing Hao melalui internet dan acara makan malam itu. Ia bahkan memuju Jing Hao. Katanya, Tuan Song tidak salah memilih calon menantu. Jing Hao sudah cakep, pintar, bicaranya juga bagus. Tuan Song mengatakan kalau keduanya hanya pergi ke Paris, bukan menikah.
“Mana bisa begitu. Kau harus menikahkan putrimu terlebih dahulu, baru mengirim mereka ke Paris,” usul Nyonya Luo.
Rui En tidak bicara apa-apa. Setuju nih kayaknya. Berbeda dengan Jing Hao.
Mereka berjalan-jalan di tepian danau, tempat mereka putus dulu. Rui En mengingatkan kembali kenapa mereka putus saat itu. Berpacaran mungkin bisa, tapi tidak bisa mengharapkan masa depan. Dan omongan Jing Hao tidak terbukti. Tidak ada yang bisa mengetahui masa depan keduanya kalau belum menjalaninya. Jing Hao tertawa geli mendengarnya. Namun, ia sedikit takut, karena semuanya berjalan tiba-tiba dan begitu lancar.
Rui En tidak peduli dengan itu semua. Mulai sekarang dan seterusnya hanya ada bahagia, dan bahagia.
Min Shuo melihat ibunya asyik melihat-lihat majalah pernikahan. Dikiranya ibunya akan menikah lagi. Ternyata perkiraannya salah. Yang menikah tak lain dan tak bukan adalah Rui En. Min Shuo terkejut mendengarnya.
Jing Hao masih ragu, pergi ke Paris atau tidak? Jika ia pergi, lalu bagaimana dengan ayahnya? NoQ menyarankan agar Jing Hao tetap pergi. Kesempatan seperti ini tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.
Min Shuo datang ke gym untuk menantang Jing Hao bertanding  tinju. NoQ menolak, karena Min Shuo tidak akan sanggup melawan Jing Hao yang sudah terlatih profesional. Min Shuo menyindir, kalau begitu apakah ia harus bertanding tinju secara ilegal juga? NoQ berang mendengarnya.
Jing Hao menebak pasti Min Shuo sedang kesal, kalau kesal ia bisa merekomendasikan orang yang seimbang dengan Min SHuo. Atau kedatangan Min Shuo kesini deminya atau Rui En?
Mereka pun mulai bertanding. Min Shuo beberapa kali dipukul oleh Jing Hao. Min SHuo menyadari sekarang kalau Jing Hao pergi bertanding tinju bukannya mau menang, melainkan mau kalah. Jing Hao berang mendengarnya dan melayangkan bogeman ke wajah Min SHuo.
Guang Chang datang dan bertanya ke NoQ, “Apa yang sedang mereka lakukan dan sudah berapa lama?”
NoQ bilang sudah lebih dari dua jam. Guang Chang kaget. NoQ kembali menjelaskan, sebenarnya dari tadi Jing Hao hanya menghindar dan terus bertahan. Kalau Jing Hao melakukannya serius, pertandingan sudah berakhir dari tadi. Guang Chang terpukau melihat kemampuan Jing Hao bertahan di lapangan selama dua jam lebih. Itu bukan pekara yang mudah.
Min Shuo tumbang. Keduanya terlentang di atas lantai gym. Min SHuo kehabisan napas. Untuk bicara saja sudah susah, apalagi bangkit.
Rui En datang menjenguk Tuan Liang dan membawakan makanan, juga coklat kesukaan Tuan Liang. Tuan Liang menyambutnya senang.
Min Shuo tidak mempercayai Jing Hao. Tapi demi Rui En, ia bersedia mempercayai Jing Hao. Karena Rui En mengatakan padanya kalau dia mencintai Jing Hao. Tapi, jika Jing Hao menyakiti Rui En, maka ia akan merebut Rui En kembali dari Jing Hao.
Jing Hao heran, bukannya Min SHuo tidak menyukai Rui En? Min Shuo bilang kalau sekarang ini ia sudah menyukai Rui En. Apa sekarang Jing Hao takut? Takut kalau Rui En direbutnya?
Min Shuo meminta Jing Hao untuk merahasiakan pertemuan mereka ini. Sebelum pulang, Min SHuo mengucapkan selamat menikah untuk Jing Hao, dan bahagiakan Rui En.
NoQ dan Guang Chang yang berdiri tak jauh dari mereka, terkejut mendengarnya. Menikah! Mereka menghampiri Jing Hao setelah Min Shuo pergi. Mereka protes pada Jing Hao, kabar gembira seperti ini tidak diceritakan. Mereka pun berama-ramai mengeroyok Jing Hao, Jing Hao hanya bisa tertawa.
Di dalam mobil, Min Shuo melihat wajahnya babak belur. “Huh, bocah itu kenapa malah memukuli wajahku. Aduh, sakit…”
Jing Hao menjenguk ayahnya. Ia heran kenapa ayahnya tidur begitu cepat. Selimut disingkap dan ternyata yang tidur disitu adalah Rui En. Maksud kedatangan Rui En adalah mau meminta restu pada Tuan Liang untuk menikahkan mereka. Jing Hao tersenyum.
Tuan Liang memberikan tepuk tangan dan mengucapkan selamat menikah. Lalu dengan mulut monyong-monyong Tuan Liang menyuruh Jiang Hao dan Rui En berciuman. Rui En menggelayut manja memeluk Jing Hao.
Jing Hao membawa Rui En ke tepian sungai. Disitu Jing Hao memperkenalkan pacarnya yang bernama Rui En kepada ibunya. Rui En menyapa ibu mertuanya, kalau tahu begini kan ia bisa memakai baju yang lebih bagus.
Jing Hao telah memutuskan untuk pergi ke Paris dan mengajak Rui En menikah. Tanpa berpikir lama, Rui En langsung setuju dan memeluk Jing Hao.
Rui En lalu meminta ijin pada ibunya Jing Hao agar mengijinkan mereka berciuman sebentar disini. “Bibi, kumohon, tutup matamu sebentar saja.”
Dan…
Jing Hao pergi ke jewelry shop untuk membeli cincin lamaran. Pilihannya jatuh pada cincin yang berada di tengah.
Saatnya fitting jas dan gaun pengantin. Nyonya Luo tak henti-hentinya memuji kegantengan Jing Hao. “Kapan putraku bisa serius dan menikah seperti ini. Dua hari yang lalu saja dia pulang dengan wajah lebam dimana-mana. Siapa orang yang memukulinya seperti itu?”
Jing Hao hanya bisa terdiam kaku mendengarnya. Ya-eyalah, kan yang memukuli Min Shuo sampai lebam begitu kan Jing Hao.
Tuan Song yang tengah sibuk menyempatkan diri untuk datang melihat fitting gaun pengantin Rui En. Ia pun memuji Jing Hao, dan Jing Hao tersenyum mengucapkan terima kasih.
Sang calon pengantin wanita keluar.
Jing Hao terpesona melihat Rui En.
Begitu pula dengan Nyonya Luo yang memuji kecantikan Rui En bagaikan bidadari. Nyonya Luo melihat Jing Hao yang tampak bengong  dan menyuruhnya untuk menghampiri Rui En.
Jing Hao menghampiri Rui En. Keduanya saling melempar senyum bahagia. Nyonya Luo dengan cueknya menggelayut lengan Tuan Song. Tuan Song bengong, namun membiarkannya.
 Sweet Couple!
Tuan Song berada di kamarnya. Ia melihat dokumen surat promosi Rui En di atas mejanya. Lalu, ia melihat kotak berisi cincin. “Maafkan aku. Aku sangat menderita setelah kejadian itu. Tolong biarkan putriku menikah.”
Rui En datang dan mengejutkan ayahnya. Tuan Song kaget dan meneriaki Rui En. Meletakkan kotak cincin itu di atas dokumen Rui En.
“Setelah kau menikah jangan membuat ayah malu!” hardik Tuan Song. Rui En menurut patuh.
Rui En menemui Jing Hao di tempat janjian. Sayangnya, Rui En lupa membawa dokumen surat promosinya. Sebenarnya ia ingin mengambil dokumennya di kamar ayahnya. Tapi ia malah diteriaki oleh ayahnya. Apa besok saja menyerahkan dokumennya?
“Kita sudah keluar. Lebih baik diurus hari ini saja. Aku temani kau mengambilnya di rumah,” kata Jing Hao.

Di rumah sepi, tidak ada orang. Nah, nah, Jing Hao mulai nakal nih.
“Jadi di rumah ini hanya ada kita berdua?” goda Jing Hao.
“Jadi apa?” Rui En takut-takut geli.

Jing Hao seakan hendak mencium Rui En.
Jing Hao tidak jadi mencium Rui En dan malah tertawa terbahak melihat sikap Rui En. Rui En kesal dan memukul Jing Hao. Tanpa sengaja air jeruk yang ditangannya menumpahi roknya. Rui En akan mengganti bajunya, jadi Jing Hao disuruh untuk mengambil dokumennya di kamar ayahnya.
Jing Hao masuk ke kamar Tuan Song. Menarik dokumennya, dan kotak cincin yang berada di atas dokumennya terhempas ke bawah. Jing Hao melihat cincin milik ibunya.
Ia teringat kecelakaan itu. Mengepalkan geram tangannya. Tanpa pamitan, ia pergi membawa tasnya.
Rui En sudah berganti baju. Tapi ia tidak melihat Jing Hao. Tasnya pun tidak ada. Rui En menelpon Jing Hao. Berulang kali ditelpon, tapi tidak diangkat. Rui En meradang cemas.
Jing Hao pergi ke lokasi kecelakaan ibunya. Kejadian itu teringat kembali.
“Kenapa!” teriaknya. “Kenapa harus ayahnya Rui En!!”
Jing Hao mendengarkan banyak kotak suara yang berasal dari Rui En. Rui En sangat mengkhawatirkan jing Hao. Kemana Jing Hao? Kenapa telponnya tidak diangkat? Apa Jing Hao diculik preman-preman itu lagi? Jika sesuatu terjadi pada Jing Hao, ia tidak mau hidup lagi.
Jing Hao tidak sanggup mendengarnya. Ia menangis terisak.
Rui En mengadu ke Min SHuo mengenai hilangnya Jing Hao. Ia belum melaporkan pada ayahnya, karena takut ayahnya akan menentang kalau mengetahuinya. Ia bahkan sudah menemui teman-teman Jing Hao di gym, tapi tidak ada yang tahu. Dan pergi ke rumahnya, tapi tidak ada.
Min Shuo menenangkan Rui En, jika sampai besok Jing Hao belum ketemu, mereka akan melaporkan ke polisi. Min SHuo juga menyuruh Rui En untuk menunggu di dalam mobil. Dalam hatinya Min SHuo berucap, bocah ini. Aku menyuruhnya untuk memperlakukan Rui En dengan baik. Belum menikah saja sudah seperti ini. Dasar brengsek.
Jing Hao di rumahnya sedang melihat ulang rekamannya bersama Rui En. Tersenyum sedih.
“Ayah… ibu… maafkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Maafkan aku…”
Rui En sampai ketiduran di dalam mobil. Min Shuo hendak menyentuh pipi Rui En, namun tertahan karena ponsel Rui En berdering.
Rui En lekas mengangkat telponnya. Dari Jing Hao.
Rui En berlari menyambar Jing Hao dalam pelukannya. Min SHuo hanya melihat dengan, yach, oke tidak suka. Marah. Kesal.
Rui En memeluk Jing Hao dengan perasaan bahagia dan lega. Berbeda dengan Jing Hao. Hanya diam.
Besoknya, mereka pergi menjenguk Tuan Liang. Di dalam mobil, Jing Hao sama sekali tidak mendengarkan apa yang tengah dibicarakan oleh Rui En dan Tuan Song. Hingga, Rui En menggelayut Jing Hao, dan saat itulah Jing Hao tersadar dari lamunannya.
“Kenapa denganmu?”
“Aku hanya tegang,” kelit Jing Hao.
“Tidak usah tegang. Aku kesana mau bertemu dengan ayahmu, sekalian mengantarkan hantaran pernikahan,” kata Tuan Song ramah.
Jing Hao mencengkeram marah celananya. Ia menahan kemarahan dan kebenciannya.
Di rumah sakit orangtua, Tuan Song bermain-main bersama Tuan Liang. Mereka bermain dasi, lalu Tuan Song menerbangkannya tinggi.
Di toilet. Jing Hao membasuh mukanya. Di depan cermin wastafel, ia berucap penuh kebencian. Aku ingin sekali membunuhnya. Aku sangat ingin menginjak wajah senyum itu. Perjodohan yang sangat buruk.
Rui En tersenyum melihat ayahnya dan Tuan Liang bermain bersama. Datang Jing Hao dengan penuh kebencian pada Tuan Song. Tidakkah kau tahu apa itu menderita? Apa kau menderita setelah kecelakaan itu? Apa kau sedih? Kuharap kau pun merasakan penderitaan yang kualami. Menderita sampai mati.
Rui En melihat Jing Hao dan memanggilnya. Kebencian Jing Hao meluntur melihat Rui En. Tersenyum tipis.
Tuan Song memberikan sepasang sepatu baru untuk Tuan Liang. Tuan Liang memakainya dan tampak tak suka, karena ia tak punya uang untuk membelinya. Tuan Song mengatakan kalau sepatunya hadiah untuk Tuan Liang. Tiba-tiba Tuan Liang mau ke kamar mandi. Jing Hao yang akan membantu ayahnya ke kamar mandi diambil alih oleh Tuan Song. Tuan Song beralasan kalau ia pun mau buang air kecil. Tuan Song dan Tuan Liang pergi ke kamar mandi bersama.
Rui En melihat ayahnya begitu akrab dengan Tuan Liang membuatnya terharu.
Rui En mendekati Jing Hao yang berdiri terpaku. “Terharu juga, kan?”
Jing Hao hanya diam. Rui En kemudian marah-marah pada Jing Hao. Minggu depan mereka sudah menikah, tapi lamaran dari Jing Hao pun tidak ada. Kalau begitu, lebih baik ia lari saja dari pernikahan.
Jing Hao menahan Rui En. Ia lalu mengeluarkan kotak dan membukanya. Sebuah cincin lamaran, dan Rui En memuji cincinnya cantik.
Jing Hao melamar Rui En, dan gadis itu langsung memeluk Jing Hao. Menerimanya, tentunya!
Jing Hao kembali berucap di dalam hatinya, Perjodohan ini begitu rumit. Apakah Tuhan sengaja mengirimkan cinta agar menghapuskan dendamnya? Benang merah itu, apakah bisa mengikatkan aku dengannya?
Jing Hao masuk ke kamar ayahnya dan mengambil cincin tersebut saat ayahnya sedang tidur.
Ayah, kumohon kau bisa mengerti aku. Ayah tidak bisa hidup tanpa ibu. Tanpa ibu sama saja seperti neraka. Begitupun denganku. Aku tidak dapat hidup tanpanya. Kumohon, sekali ini saja maafkan aku…
Jing Hao pergi ke tepian sungai.
Jing Hao melemparkan kedua cincin itu ke dalam sungai.
Episode Selanjutnya...

Photo&recap oleh Phoo Purarora.
 
Sumber : http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep6.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar