Recap: Endless Love Ep.4
Line 4
Rui En mengamati hasil jepretannya. Hmm, bagus juga.
Jing Hao datang dan memuji pria yang ada di dalam majalah kampus
itu sangat ganteng. Rui En tidak terima, ia mengatakan kalau hasil fotonya-lah
yang bagus bukan orangnya. Jing Hao tidak mau kalah, ia balas menyindir, baru
pertama kali saja Rui En menggelar pameran lukisan sudah bangga. Nah, Rui En
tidak terima lagi dan balas, apa mau ditamparnya lagi. Jing Hao tertawa dan
menghentikan candaan mereka.
Jing Hao mengikuti Rui En sampai ke kelas. Rui En tidak pernah
tahu kalau ternyata Jing Hao satu kelas dengannya di mata kuliah yang ini.
Memang, kata Jing Hao cuek.
Jing Hao mengambil duduk. Rui En duduk di meja sebelah Jing hao,
memerhatikan Jing Hao. Lalu setelahnya membuang muka. Saat Rui En membuang
muka, Jing Hao mencuri-curi pandang ke arah Rui En dengan tersenyum.
Rui En lalu menoleh cepat ke arah Jing Hao karena merasa ada
yang memerhatikannya. Secepat kilat Jing Hao meluruskan pandangannya ke depan.
Cuek.
Pelajaran dimulai. Dosen membahas mengenai masalah kehidupan,
terutama cinta yang datang begitu ajaib. Jing Hao dan Rui En malah saling
melempar pandang.
Meskipun dalam suatu tempat
terdapat banyak orang. Namun, fokus kita bisa tertuju pada satu orang. Seolah-olah
orang itu telah menarik perhatian kita.
Sebuah benang merah seolah terhubung diantara Jing Hao dan Rui
En, dimana di dalam kelas itu hanya ada mereka berdua. Tidak ada orang
disekitar mereka. Fokus hanya ada mereka. Rui En teringat saat ia mengambil
foto saat Jing Hao latihan karate, dimana pandangannya hanya terfokus pada Jing
Hao seorang.
Rui En tersenyum simpul. Jing Hao seakan salah tingkah.
Usai kelas, Jing Hao mendapatkan telpon dari NoQ yang
mengajaknya ketemuan. NoQ mau membelikan Jing Hao jas. Rui En yang mendengar
nama NoQ disebut lantas tersenyum setan.
“Apa NoQ teman yang di rumahmu itu?”
“Iya.”
“Sepertinya dia adalah orang yang menarik. Bantu aku kenalkan
padanya, ya?” pinta Rui En dengan senyum busuk. Senyum setan. Entah apa nih
yang direncanain ma nih cewek.
Mereka janjian bertemu di sebuah departemen store. Rui En
melangkah menghampiri NoQ dengan senyum setannya. Sedang, NoQ―kaget sampe melongo begitu melihat Rui En datang bersama Jing
Hao.
Parahnya lagi, Rui En dengan sengaja menggelayut lengan Jing
Hao. Jing Hao kaget―bingung. NoQ makin melotot
melihatnya. Hahahah!
NoQ masuk ke dalam dept.store lebih dahulu. Kesal+sebal melihat
Jing Hao bersama dengan Rui En. Jing Hao sih asyik-asyik aja lengannya
digandeng sama Rui En. NoQ yang kesal terus berjalan tanpa melihat kedepannya
dan alhasil ia menabrak pintu butik. Rui En dan Jing Hao tertawa.
NoQ memilihkan jas untuk Jing Hao. NoQ memuji jas pilihannya,
tapi tidak bagi Rui En yang mengatakan kalau jas itu terlihat sangat kuno di
badan Jing Hao. NoQ kesal mendengarnya. Rui En memilihkan sebuah jas untuk Jing
Hao, dan Jing Hao mengepasnya di dalam kamar pas.
NoQ dengan kesal menyambar Rui En. “Apa kau akan membayari Jing
Hao?”
“Kenapa harus aku? Mana ada wanita yang membayari?” Rui En menyahut
enteng. NoQ yang mendengarnya makin kesal.
Jing Hao keluar dan Rui En memujinya dengan mengatakan Jing Hao
terlihat makin ganteng. NoQ berkata, kalau Jing Hao suka ambil saja. Dengan
berujar lirih NoQ berkata, “Mulutnya benar-benar manis. Pantas saja Jing Hao
bisa tergoda. Aku akan membongkar kedokmu.”
Sekarang giliran Rui En yang belanja. Ia kalap mata dengan
mengambil banyak baju. Jing Hao heran, apa Rui En mau membeli semua barang ini?
Rui En menyahut, iya.
“Kak Jing Hao yang akan membayarnya, kan?” Rui En bermulut manis lagi.
“Aku mana ada uang,” kata Jing Hao.
“Bukannya tadi kak Jing Hao bilang, kalau uangnya kurang, jasnya
bisa dijual lagi.” Rui En mengingatkan Jing Hao.
“Song Rui En, kapan aku mengatakan seperti itu?” bingung Jing
Hao.
NoQ langsung naik pitam. Ia mengatakan kalau Jing Hao ini sudah
kesurupan. “Sadarlah, Jing Hao! Kau sudah dirasuki apa!” NoQ memegangi kedua
pipi Jing Hao dengan geram.
Rui En yang sedari tadi menahan ketawanya, sudah tidak dapat
menahannya. Dan, akhirnya tawanya pecah dan keras. Jing Hao dan NoQ bingung.
Mereka mampir ke kafe, disitulah NoQ mengatakan yang sejujurnya.
Kalau ia pernah menemui Rui En, habisnya ia menganggap Rui En seperti wanita
yang sukanya memanfaatkan kebaikan orang lain. Dan, tadi itu Rui En hanya
bercanda saja. Rui En sengaja melakukannya karena ia merasa NoQ ini sangat
lucu.
“Kau, teman yang sangat baik. Demi teman, kau sanggup berbuat
jahat.” Rui En memuji NoQ.
NoQ merasa senang. “Kau harusnya bersyukur memiliki teman
seperti aku,” lanjutnya ke Jing Hao. “Baik. Sebagai permintaan maafku, aku akan
mentrtaktirmu makan. Silahkan pilih sendiri makanan yang kau suka.” NoQ
menawarkan ke Rui En.
Mereka bertiga jalan-jalan. Rui En memasangkan bando ke
kepalanya dan meminta pendapat Jing Hao. “Bagus tidak?”
Jing Hao mengatakan tidak tahu. Dalam hatinya berucap, apapun yang kau pakai akan selalu cantik.
Ada yang lagi galau nih. Min SHuo teringat sewaktu Jing Hao saat
memasukkan kepalanya ke dalam mobil Rui En, seolah akan mencium Rui En. Keluar
dari kamar mandi, eh Nyonya Luo datang dengan girang sambil menenteng banyak
belanjaan. Min SHuo tanya kenapa ibunya belanja begitu banyak?
“Kau dan Rui En tidak jadi menikah. Jadi ibu masih punya harapan
dengan Tuan Song. Jadi ibu mau mempercantik diri dulu.”
“Iya, terserah ibu.” Min SHuo tampak kecewa mendengarnya.
“Huh, salah siapa kau berganti pacar terus. Lama-lama Rui En kan jadi sadar juga
kalau kau bukan pria yang baik.”
“Ibu, kenapa ibu malah menyalahkan anaknya sendiri.”
“Wanita tidak akan suka dengan pria yang suka berganti-ganti
pacar.” Nyonya Luo masuk ke dalam kamarnya.
Waaaaaah, aku suka nih ama ibunya Min Shuo. Meskipun anaknya,
tapi kalau kenyataannya begitu, ya ibunya kudu ngomong jujur.
Di sebuah bar elit. Tuan Song mengajak Min Shuo bicara.
Rencananya, jika Min Shuo dan Rui En menikah, maka rumah sakit itu akan
diberikan untuk Min SHuo dan Rui En akan menjabat sebagai direktur keuangannya.
Tuan Song menanyakan ke Min SHuo, siapa pria yang berpacaran dengan Rui En
sekarang? Min SHuo tidak yakin, tapi sepertinya ia menebaknya orang itu adalah
teman satu kampus Rui En.
“Harusnya kau mencari tahu siapa orang yang disukai oleh Rui En.
Apa jangan-jangan kau tidak pernah menyukai Rui En?”
Min Shuo terdiam. Tidak menjawab.
Rui En datang ke pasar malam tempat Jing Hao bekerja. Ia
membawakan makanan dan minuman untuk Jing Hao, untuk NoQ juga ada. Rui En
menyuruh Jing Hao beristirahat dulu biar ia yang menggantikan. Rui En lantas
berteriak mempromosikan barang dagangannya. Jing Hao melihatnya dengan
tersenyum. NoQ memajukan bibirnya seolah hendak mencium Jing Hao, Jing Hao
langsung menempelkan kaleng minuman ke bibir NoQ. Habisnya NoQ melihatnya Jing
Hao kayak orang gila.
Rui En berhasil menjual baju. Ia memamerkan uang yang didapatnya
ke Jing Hao. Jing Hao tersenyum, dan NoQ tidak menyangka.
Mereka berjualan bersama. Pembeli yang datang banyak. Jing Hao
menatap ke Rui En, begitu pula dengan Rui En yang menatap ke Jing Hao. Ini
seperti yang dikatakan oleh dosen Rui En, meskipun ada banyak orang, tapi fokus
kita tetap tertuju pada orang itu.
Jing Hao menghitung hasilnya. Woooouw, uangnya banyak.
Besok-besok kalau mau jualan ngajak aja lagi Rui En. Pasti untung deh.
Rui En mendapat telpon dari ayahnya yang menyuruhnya pulang.
Sudah malam. Jing Hao menawarkan diri untuk mengantar Rui En. Rui En tentu saja
senang.
“Ayo ngebut!” teriak Rui En.
“Terima kasih untuk hari ini,” kata Jing Hao.
“Apa? Kau bilang apa?” Rui En tidak mendengar.
“Aku menyukaimu,” kata Jing Hao lirih. Tersenyum.
“Kau bilang apa!”
“Sepertinya aku mencintaimu,” kata Jing Hao lirih. Tersenyum.
“Aku tidak mendengar!”
Jing Hao mengebut. Rui En makin erat melingkarkan pegangannya di
pinggang Jing Hao.
Jing Hao berhasil mengantarkan Rui En pulang ke rumahnya dengan
selamat. Jing Hao terperangah melihat rumah Rui En. Minder.
Min SHuo minum-minum di bar bersama dua orang wanita.
Wanita-wanita itu suka dengan Min SHuo, karena Min SHuo selain ganteng, dokter,
juga royal. Min SHuo emang benar-benar lagi galau.
Di rumah, Rui En diinterogasi sama ayah. Sudah berapa lama
pacaran? Kenapa tidak bilang-bilang? Bikin malu di depan Nyonya Luo saja. Siapa
namanya!
“Namanya Liang Jing Hao.” Rui En menjelaskan kalau hubungannya
biasa-biasa saja. Ayah meminta minggu depan agar bertemu dengan pacarnya dan
setelah melihatnya baru bisa diputuskan apa bisa dilanjutkan atau putus.
NoQ menggodai Jing Hao. “Baru mengantar pacar pulang, ya?”
Jing Hao meluruskan kalau sekarang ini Rui En bukan pacarnya.
Kalau sekarang bukan, berarti ada kemungkinan ke depannya jadi pacar donk.
“Dia gadis yang cantik. Badannya bagus. Dia memberikanmu obat,
menemanimu berjualan. Dia juga mau menjagakan ayahmu. Ayahmu pun sepertinya
menyukainya,” kelakar NoQ. “Sulit menemukan gadis seperti dia.”
Jing Hao juga tahu dengan hal itu.
Xiu Zhen menanyakan, apa Rui En dan Jing Hao berpacaran? Kalau
tidak, Xiu Zhen minta dikenalkan donk. Xiu Zhen minta Rui En mengajak Jing Hao
ketemuan. Aduh, Rui En agak-agak gimana menelponnya… Terpaksa…
Jing Hao yang mendapatkan telpon dari Rui En tentu saja senang.
Apalagi Rui En mengajaknya untuk ketemuan. Makin senanglah. Jing Hao yang saat
ditelpon, ia sedang berada di dept.store membelikan Rui En bando dan jepit
rambut.
Manis! Senyumannya Jing Hao manis banget.
Jing Hao menemui Rui En. Namun, senyumnya memudar saat dengan
terang-terangan Xiu Zhen mengungkapkan keinginannya untuk berpacaran dengan
Jing Hao.
Jing Hao terus melirik marah ke Rui En. Sedang, Rui En melirik
takut-takut.
Xiu Zhen menyenggol lengan Rui En, “Rui En, kau masih ada
pelajaran kan?”
“Pelajaran?” Rui En tidak ngeh dengan kode yang diisyaratkan
oleh Xiu Zhen.
“Yang ada pelajarn itu aku!” sewot Jing Hao. Pergi begitu saja.
Rui En mengejarnya.
Di dalam bis, Jing Hao diam. Marah.
“Kenapa kau pergi begitu saja? Aku jadi tidak enak dengan Xiu
Zhen?”
Jing Hao tidak mau mendengarnya. Ia pindah duduk. Rui En minta
maaf.
Jing Hao berdiri dan pak sopir mengerem mendadak. Jing Hao
terdorong merapat ke Rui En. Jantung Rui En kembali eror. Berdebar kencang. Rui
En takutnya debaran jantungnya terdengar oleh Jing Hao.
“Jantungku eror lagi. Jangan samapai Jing Hao mendengarnya.”
Rui En mengomeli dirinya sendiri. “Kenapa aku membuat hubunganku
jadi buruk lagi. Aku harus bagaimana? Ayah memintaku untuk bertemu dengannya.”
Galau.
Temannya Min SHuo menanyakan mengenai Rui En. Kenapa Rui En
tidak pernah datang lagi? Sewaktu, Min SHuo lembur, Rui En selalu datang
membawakan makanan. Jarang ada wanita seperti Rui En. Jangan sampai Rui En
diambil orang, nanti kau menyesal.
Dan, sepertinya Min Shuo mulai menyesalinya.
Rui En ke pasar malam dan meminta maaf pada Jing Hao. Jing Hao
beranggapan kalau Rui En akan membuat ide aneh-aneh seperti tadi siang. Rui En
belum beranjak dan ia minta waktu bicara berdua dengan Jing Hao.
Rui En minta bantuan Jing Hao agar bersedia berpura-pura menjadi
pacarnya. Jing Hao tidak mau. Mereka pun berdebat hebat. Asalkan Rui En meminta
ayahnya ingin menikah dengan Min SHuo, maka Rui En bisa mendapatkan harapan.
Berbeda dengan Jing Hao, kalaupun mereka berpacaran, pasti Rui En akan mencari
berbagai alasan untuk minta putus.
“Kau mengatakan sudah memutuskan benang merahnya. Ternyata kau
hanya menipu dirimu sendiri!” geram Jing Hao.
“Tanyakan hatimu dengan jelas, kalau kau tidak bisa
melepaskannya, maka dapatkan dia meskipun dia tidak mencintaimu. Atau lepaskan
dia dan jangan memikirkannya lagi. Pilihan ini apakah begitu sulit?
“Apa kau pernah menyukai seseorang? Ingin menghapus seseorang
dari dalam hati, namun tidak bisa. Hanya dengan menyukai seseorang, tidak
peduli kau akan melepaskannya atau bertahan. Tidak bisa memilih sendiri.
Pilihan yang kau berikan memang terdengar mudah, tapi itu sangat sulit. Hatiku
begitu kacau. Ada
yang menyuruhku untuk melepaskannya, ada yang menyuruhku untuk menunggu. Kau
menyuruhku untuk mendengarkan hatiku, aku sendiri tidak tahu hati mana yang
harus kudengarkan. Apakah kau mengerti dengan perasaan itu?”
Jing Hao terdiam.
Min SHuo memandangi roti di tangannya. Ia masih kepikiran dengan
apa yang dikatakan oleh temannya tadi. Menyesalkah…???
Bibi pengasuh meminta maaf pada Jing Hao karena telah lalai
menyimpan arak itu. Jing Hao tidak menyalahkan karena arak itu dapat dijangkau
oleh ayahnya. Ia mendengar ayahnya di dalam kamar yang terus menyalahkan
dirinnya atas kematian sang ibu.
Di dalam kamar, Jing Hao memandangi bungkusan bando dan jepit
yang awalnya hendak diberikannya untuk Rui En. Ia tertawa mengasihani dirinya
sendiri. Sebenarnya dia termasuk orang yang seperti apa?
Rui En menyuguhkan minuman untuk sang ayah. Ia menasihati
ayahnya agar jangan minum lagi. Jangan terlalu menyesali diri sendiri.
Bagaimana ayahnya tidak menyesali dirinya sendiri? Saat istrinya meninggal, ia
tidak berada di sampingnya. Rui En menghibur ayahnya, saat ini ibu pasti tidak
suka melihat ayah yang minum, dan tentunya ibu pasti sangat bahagia, karena
ayah begitu mencintainya.
“Ibu mengatakan padaku, jika aku menikah harus mencari pria
seperti ayah,” Rui En menghibur ayah. Rui En keluar.
Tuan Song teringat kembali peristawa tabrakan itu. Ia memungut
kalung yang terlepas dari leher wanita yang ditabraknya, dan kalung itu masih
disimpannya sampai sekarang. Tuan Song tidak dapat melupakan kejadian itu.
Jing Hao tidak menemukan ayahnya di dalam kamar. Ia terkejut
ketika melihat ayahnya tergeletak pingsan di dapur. Lekas-lekas Jing Hao
menggendong ayahnya di punggung dan membawanya ke rumah sakit.
Dosen Rui En memberitahukan berita gembira untuk Rui En. Karena
Rui En sudah pernah menggelar pameran lukisan sendiri, maka pihak kampus akan
membantu Rui En untuk memberikan beasiswa. Setelah berbincang dengan dosen, Rui
En mendapatkan telpon dari NoQ.
“Rui En, ini NoQ. Bisakah kau membantuku untuk menasihati Jing
Hao?”
Jing Hao menunduk sedih di koridor rumah sakit. NoQ terus
menasihati Jing Hao agar pergi mengajar. Tapi Jing Hao sama sekali tidak
mendengarkan. Kalau Jing Hao tidak mau pergi, NoQ akan menyeret paksa Jing Hao.
Jing Hao menyergah NoQ, ia terus menyalahkan dirinya karena beberapa hari tidak
memeriksa keadaan ayahnya di dalam kamar. Jing Hao takut kalau ayah melihatnya
maka ayah akan marah.
“Aku takut kalau ayah…”
“Ayahmu tidak akan apa-apa,” Rui En datang. “Atau mungkin kau
mengharapkan sesuatu terjadi pada ayahmu?”
Tentu saja perkataan Rui En membuat Jing Hao geram. Jing Hao
beranjak dari duduknya, dan NoQ menahani tubuh Jing Hao. “Hei, apa yang
sebenarnya kau katakan!” NoQ sewot ke Rui En.
“Kau ingin duduk disitu atau mengejar impianmu? Apa kau ingin
menyerah dan melepaskannya? Saat ayahmu sadar nanti, kau bisa melewatinya
bersama ayahmu, mimpimu yang sudah terwujud.”
Jing Hao terdiam. NoQ tersenyum.
Rui En mengebut mengantarkan Jing Hao ke sekolah.
“Jing Hao, semangat! Fighting!” Rui En memberikan semangat.
Jing Hao mengepalkan tangan tanda ia sedang bersemangat.
Tersenyum.
Jing Hao meminta maaf pada kepala sekolah atas keterlambatannya.
Kepala sekolah memakluminya, dan menanyakan bagaimana ayahnya? Jing Hao kaget,
tahu darimana? Kepala sekolah bilang, tadi adik perempuan Jing Hao menelpon dan
memohon padanya agar jangan sampai membiarkan Jing Hao melepaskan impiannya.
Jing Hao sepertinya tahu siapa adik perempuan yang dimaksud.
Rui En berdiri dengan menyandarkan tubuhnya di badan mobil.
Pengen melihat Jing Hao yang sedang praktik.
Seorang guru olahraga memperkenalkan Jing Hao sebagai guru
olahraga yang baru. Ya, ampun! Kalo guru olahraganya seganteng Jing Hao,
aaaaahh,aku juga mau diajar…
Rui En melambaikan tangan ke arah Jing Hao. Jing Hao hanya
menatap diam ke Rui En sembari berkata di dalam hatinya, kau banyak membantuku, tapi tidak ada yang bisa kuberi untukmu. Tidak
ada…
Ada! Jing Hao, kamu bisa memberikan Rui En CINTA!
Jing Hao masuk ke kamar rawat ayahnya. Ia teringat perkataan
dokter mengenai penyakit ayahnya. Karena kecapekan makanya tekanan darah tinggi
ayahnya naik. Dokter menyarankan agar Jing Hao membawa ayahnya ke rumah sakit
yang khusus merawatkan orangtua.
Jing Hao sedih. Ia tidak tega membawa ayahnya ke rumah sakit
orangtua.
Rui En datang ke rumah sakit untuk menjenguk Tuan Liang, tapi
saat di kamarnya Tuan Liang tidak ada. Padahal ia yakin tidak salah kamar. Rui
En bertanya ke recepsionis mengenai pasien bernama Tuan Liang. Ternyata Tuan
Liang sudah dipindahkan ke rumah sakit orangtua. Rui En lantas menelpon Jing
Hao, tapi tidak diangkat. Berulang kali ditelpon, tapi tidak ada satupun yang
diangkat.
Jing Hao dengan terpaksa memutuskan untuk membawa ayahnya ke
rumah sakit orangtua dan memberhentikan bibi pengasuh. Jing Hao banyak-banyak
mengucapkan terima kasih atas bantuan bibi pengasuh yang telah bersedia
menjagakan ayahnya selama ini.
Rui En terus menunggu telpon dari Jing Hao. Ia terbangun dari
tidurnya ketika mendengar dering hape. Cepat-cepat ia mengangkatnya, namun ia
harus mencelos karena dering itu bukan berasal dari hapenya, melainkan dari
dalam tivi.
NoQ menghibur Jing Hao dengan mengatakan kalau ayahnya disini
akan jauh lebih baik daripada di rumah. Jing Hao tidak punya waktu untuk
menjaga ayahnya, lagian Tuan Liang disini sangat suka karena banyak temannya.
Berbeda dengan Jing Hao yang sedih. Jing Hao merasa, membawa ayahnya kesini,
itu sama saja dirinya tidak sanggup menjagakan ayahnya.
Hape Jing Hao berdering dari Rui En. Ia tidak mengangkatnya.
Setelahnya, hape NoQ berdering. NoQ hendak mengangkatnya namun ditahan oleh
Jing Hao.
“Sudah seharian ini ia menelponku,” kata NoQ.
“Jangan mengangkat telponnya. Ataupun menelponnya,” pinta Jing
Hao.
“Apa sesuatu terjadi pada kalian?”
Jing Hao diam, dan melangkah pergi.
Jing Hao rindu. Ia mendatangi rumah Rui En. Jing Hao cepat
bersembunyi di balik pohon saat Rui En keluar dan berdiri di balkon rumahnya.
Jing Hao teringat dengan perkataan Rui En. Ingin menghapus seseorang dari dalam hati, namun tidak bisa. Hanya
dengan menyukai seseorang, tidak peduli kau akan melepaskannya atau bertahan.
Tidak bisa memilih sendiri. Pilihan yang kau berikan memang terdengar mudah,
tapi itu sangat sulit. Hatiku begitu kacau. Ada yang menyuruhku untuk
melepaskannya, ada yang menyuruhku untuk menunggu. Kau menyuruhku untuk
mendengarkan hatiku, aku sendiri tidak tahu hati mana yang harus kudengarkan.
Apakah kau mengerti dengan perasaan itu?
Ya, dan sekarang Jing Hao telah mengerti dengan perasaan itu.
Jing Hao mengajar muridnya basket. Sesaat ia melamun memikirkan
Rui En.
Rui En mendatangi sekolah Jing Hao. Keduanya saling melempar pandang.
Dua guru wanita mengajak Jing Hao makan siang bersama. Jing Hao
menyanggupinya. Rui En―entah kenapa―ia menjadi kesal dan menekan klakson mobil dengan nyaring.
Salah satu guru itu bertanya, “Apa dia pacarnya Guru Liang?”
Jing Hao menjawab, “Dia hanyalah teman yang beberapa kali
kutemui.” Jing Hao meminta maaf karena tidak bisa ikut makan siang bersama.
Rui En dengan cemasnya memeriksa sekujur tubuh Jing Hao. Tidak
ada luka. Tahukah Jing Hao? Kalau beberapa hari ini Rui En begitu
mencemaskannya? Hatinya berkecamuk, siapa tahu terjadi kecelakaan atau apalah.
Telpon tidak diangkat. Tidak bisa tidur. Lihat di wajah Rui En terdapat
lingkaran hitam, sudah seperti panda.
“Kenapa kau tidak menjawab telponku?” tanya Rui En.
“Aku bukannya tidak menjawab telponmu. Tapi aku sengaja tidak
mengangkatnya. Ayahku baik-baik saja. Hape tidak rusak.”
Jing Hao melangkah pergi.
“Kenapa kau seperti ini padaku!” sambar Rui En.
Jing Hao memutar tubuhnya. “Seperti ini bagaimana?”
“Sewaktu di rumah sakit kau bilang kita berteman. Tapi kenapa
kau seperti orang asing?” Rui En nyaris berkaca-kaca matanya.
Jing Hao tertawa kecil. “Kau begitu polos. Aku hanya ingin
bermain-main dengan orang sepertimu. Lagipula aku tidak tertarik pada wanita
yang dihatinya masih ada pria lain.” Jing Hao pergi meninggalkan Rui En. Dalam
hatinya ia berucap, semenjak aku bertemu
denganmu, aku semakin mahir berbohong. Ya, terutama berbohong mengenai
perasaan.
Guang Chang memberikan uang ke Jing Hao. Guang Chang dan NoQ
berharap Jing Hao segera lulus menajdi guru. Berhubung mood mereka sedang baik,
jadi Guang Chang mengajak minum-minum. Jing Hao sebenarnya tidak mood, tapi ia
menghargai niat baik Guang Chang dan ikut.
Rui En pergi ke pasar malam, tapi baik Jing Hao dan NoQ keduanya
tidak berjualan.
Jing Hao dan NoQ sudah berangkat lebih dahulu ke tempat karaoke.
Guang Chang yang tengah menutup gym-nya disambangi oleh dua orang preman.
“Kau tahu kedatangan kita untuk apa?” tanya salah seorang
preman.
“Ti―tidak tahu…” Guang Chang
ketakutan.
Guang Chang langsung dipukul. Preman itu merapatkan tubuh Guang
Chang di jaring-jaring kawat. “Mana Liang Jing Hao?”
Sampai pasar malam tutup, Rui En masih menunggu. Sesaat ia mau
pulang, hapenya berdering. Cepat diangkatnya, siapa tahu dari Jing Hao.
Ternyata Min Shuo yang menelponnya. Min Shuo mengatakan kalau saat ini ia
sedang lembur dan lapar, jadi ia meminta Rui En datang untuk membawakannya
makanan. Rui En yang semula enggan datang, memutuskan untuk datang. Rui En
seperti hendak memastikan sesuatu.
Jing Hao dan NoQ sudah berada di tempat karaoke. NoQ menyuruh
Jing Hao agr menelpon Rui En. Sepi rasanya kalau hanya mereka berdua disini.
Rui En datang dengan membawakan cake untuk Min Shuo. Ia terus
memandangi Min SHuo. Hanya ada mereka berdua, tapi jantungnya sama sekali tidak
berdebar.
Min Shuo beranjak untuk membuatkan secangkir kopi untuk Rui En.
Rui En memandangi punggung Min Shuo. Ia nekat memeluk punggung
Min Shuo. Memejamkan kedua matanya untuk merasakan sesuatu. Jantungnya sama
sekali tidak berdebar. Berbeda sewaktu ia bersama dengan Jing Hao, dimana
jantungnya sering eror.
Min Shuo yang awalnya kaget dipeluk mendadak, ia pun kemudian
tersenyum senang.
Min Shuo berbalik dan hendak mencium Rui En. Rui En menolak dan
dengan senyuman ia mengatakan, “Aku harus pergi. Ada seseorang yang ingin kutemui.”
Rui En berlari dengan gembira. Min Shuo terdiam.
Rui En menelpon NoQ. Untunglah NoQ yang saat itu sedang berada
di kamar mandi mengangkat telpon Rui En. Rui En bertanya ke NoQ dimana Jing Hao
sekarang, karena ada yang ingin dibicarakannya. NoQ langsung memberitahukan
tempat mereka sekarang berada.
Sementara itu, Guang Chang babak belur dipukuli.
NoQ sibuk menyanyi. Jing Hao sibuk menelpon Guang Chang tapi
tidak diangkat. Jing Hao mematikan lagu yang sedang dinyanyikan oleh NoQ.
“Ketua sama sekali tidak bisa dihubungi?” khawatir Jing Hao.
“Mungkin Ketua sudah tidur.”
Jing Hao menarik tasnya dan pergi untuk menemui Guang Chang. NoQ
masih ingin melanjutkan bernyanyinya, tapi ia terpaksa harus menyudahinya, dan
mengejar Jing Hao.
Di depan, mobil Rui En berhenti. Rui En menurunkan kaca jendela
mobilnya. Tersenyum melihat Jing Hao. Berlari keluar dari mobil dan menghampiri
Jing Hao dengan tersenyum.
“Kau tidak mengerti dengan kata-kataku?” Jing Hao berujar sinis
ke Rui En.
Rui En tidak peduli. Ia memegang kedua pipi Jing Hao dan mencium
Jing Hao.
NoQ yang melihatnya terbeliak kaget. Jing Hao yang semula
terkejut, ia lantas membalas ciuman Rui En.
Ciuman keduanya terhenti, karena sebuah mobil melaju ke arah
mereka. Menyorotkan lampu mobil ke arah mereka. Rui En dan Jing Hao kaget.
Episode Selanjutnya...
Photo&recap oleh Phoo Purarora.
Sumber : http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep4.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar