Recap: Endless Love Ep.2
Line 2
Rui En pergi ke pasar malam dan melihat Jing Hao bekerja. Ia
teringat dengan perkataan Jing Hao kalau malam bekerja di pasar malam. Ia
khusus datang untuk membawakan obat untuk Jing Hao.
Rui En menghampiri Jing Hao dan memberikan obat. Tapi Jing hao
menolak karena ia tidak membutuhkan obat.
“Diam dan jangan bergerak!” Rui En berseru.
Rui En dengan penuh hati-hati mengoleskan obat di dekat mata
Jing Hao. Jing Hao memerhatikan Rui En dengan seksama. Laga-laganya udah mulai
jatuh cinta nih Jing Hao.
NoQ yang melihatnya sontak melongo bengong. Rui En tersadar
karena ia terus diperhatikan oleh Jing hao, dan ia tanpa sengaja mencolok mata
Jing Hao. Rui En memberikan obat ke tangan Jing Hao agar Jing Hao sendiri yang
mengoleskannya.
Rui En lari terbirit-birit dan tidak sengaja menabrak pejalan
kaki dan ia pun jatuh. Rui En malunya dan ia makin lari terbirit-birit. Di dalam
mobil, Ru En berteriak malunya setengah mati.
Jing Hao termangu memandangi bungkusan obat yang diberikan Rui
En padanya. NoQ melambai-lambaikan tangannya ke hadapan Jing Hao, namun Jing
Hao tidak bergeming. NoQ mengambil bungkusan obat dan Jing Hao merebutnya
kembali.
Rui En menyambangi rumah Jing Hao dengan membawa keranjang buah.
Ia membuka rantai yang mengunci pintu rumah. Melangkah masuk dan melihat
dinding bekas kebakaran. Tiba-tiba kepalanya dipukul dengan sendok oleh Tuan
Liang.
Rui En menyapa Tuan Liang dan memberikan keranjang buah. Tuan
Liang malah merengek minta nasi karena ia lapar. Rui En bingung.
Rui En akhirnya memesan makanan untuk Tuan Liang, dan
memerhatikan Tuan Liang makan dengan tersenyum. Bibi pengasuh masuk ke dalam
rumah dengan panik karena ia melihat pintu terbuka lebar. Takut kalau Tuan
Liang kabur.
“Siapa nona?” tanya bibi pengasuh.
“Aku…” Rui En bingung mau menjawabnya.
“Dia temanku,” jawab Tuan Liang cepat.
Rui En mengangguk-angguk mengiyakan.
Jing Hao tersenyum. Sakit di wajahnya tidak terasa setelah
diolesi obat yang diberikan oleh Rui En.
Rui En mengatakan kalau ia mempunyai salah pada Jing Hao, tapi
ia tidak berani menemuinya. Makanya itu, ia datang diam-diam ke rumah. Bibi
pengasuh malah berpikiran kalau Rui En ini pacarnya Jing Hao. Rui En membantah,
ia bukan pacar Jing Hao. Bibi pengasuh malah menebaknya kalau Rui En ini
menyukai Jing Hao.
Rui En ingin membantah kalau ia tidak menyukai Jing Hao, tapi ia
tertahan saat melihat dinding rumah yang hangus terbakar.
Tuan Liang sudah tidur ketika Jing Hao pulang. Dalam igauannya,
Tuan Liang mengatakan, “Anakku, tadi Zhi Shu datang…”
Jing Hao hanya tersenyum. Mungkin dikiranya di dalam mimpi
ayahnya, ayahnya sedang bertemu dengan Zhi Shu.
Jing Hao melihat namanya di papan pengumuman. Namanya ada. Ia
lulus! Jing Hao berlari kegirangan.
Rui En paginya datang membawa pasukan ke rumah Jing Hao. Ia mengerahkan
para tukang untuk merenovasi rumah Jing Hao.
Bibi pengasuh takut, apa ini tidak apa-apa? Rui En menyakinkan
tidak apa-apa asal bibi pengasuh tutup mulut dan mau bekerjasama dengannya. Rui
En lantas mengajak Tuan Liang jalan-jalan.
Rui En dan Tuan Liang berjalan-jalan di taman. Rui En membelikan
Tuan Liang balon. Tuan Liang tampak sangat bahagia.
Jing Hao menelpon bibi pengasuh untuk menanyakan ayahnya. Bibi
pengasuh agak sedikit tergagap karena Tuan Liang sedang pergi dengan Rui En dan
belum pulang. Bibi pengasuh terpaksa berbohong dengan mengatakan kalau Tuan
Liang sedang tidur.
Tiba-tiba Rui En dan Tuan Liang datang. “Wooow,” puji Rui En
saat melihat rumahnya berubah menjadi bagus.
Jing Hao mendengar ada suara di di seberang, ia menanyakan pada
bibi pengasuh apa di rumah ada orang?
Bibi pengasuh berkata lirih ke Rui kalau yang sedang menelpon
adalah Jing hao. Rui En langsung tutup mulut. Bibi pengasuh berbohong kembali
kalau itu tadi adalah suara sales yang datang, dan segera mengakhiri telponnya.
Bibi pengasuh meminta Rui En agar mengaku saja. Rui En akan
mengaku, tapi tidak untuk sekarang ini.
Tuan Liang memanggil Rui En dengan panggilan Zhi Shu. Rui En
dengan lirih bertanya ke bibi pengasuh siapa Zhi Shu? Bibi pengasuh menyuruh
agar tidak tanya-tanya dulu.
Bibi pengasuh lalu menceritakan siapa Zhi Shu itu? Zhi Shu
adalah ibunya Jing Hao yang meninggal karena kecelakaan sewaktu Jing Hao masih
kecil.
Rui En memandangi foto ibunya. Wou, ibunya bule. Aslinya Sandrine
Pinna kan emang
gadis keturunan Prancis-Taiwan-China pantesan wajahnya cantik begitu. Rui En
curhat pada ibunya kalau ibunya Jing Hao pun sudah meninggal. “Apakah di surga
ibu bertemu dengan ibunya Jing Hao? Apakah dia juga sama sepertiku yang
merindukan ibu?”
Jing Hao pulang ke rumahnya dan ia bengong. Ini rumahnya atau
bukan? Apa jangan-jangan ia salah masuk rumah?
Bibi pengasuh mengatakan dengan terbata-bata, dan seolah mencari
banyak alasan. “Aku menceritakan pada temanku mengenai masalahmu. Dan temanku
itu dengan bermurah hati menawarkan ini.”
“Terima kasih, bibi. Bisakah aku bertemu dengan temanmu itu dan
mengucapkan terima kasih?”
“Itu―temanku itu agak aneh. Dia juga tidak
akan datang ke rumah ini. Biar aku saja yang menyampaikannya.”
Jing Hao mengangguk setuju.
Jing Hao masuk ke kamar ayahnya dan melihat ada balon. Tersenyum
melihatnya. Ia berjanji pada ayahnya akan belajar dengan baik agar dapat
menjadi guru olahraga. Dengan begitu, ia akan mendapatkan pekerjaan yang stabil
dan memberikan kehidupan yang nyaman untuk sang ayah. Jing Hao melihat bandul
kalung yang merupakan cincin nikah ayahnya mengeluar dari dalam kaos. Ia
memotret cincin tersebut di dalam hapenya.
Nyonya Luo memuji lukisan Rui En, pasti kemampuan Rui En
diturunkan oleh ayahnya? Rui En bilang kalau ibunya-lah yang pandai melukis.
Kemudian, Nyonya Luo bertanya hati-hati ke Rui En.
“Ayahmu sudah lama menduda. Apakah ayahmu tidak ada keinginan
untuk mencari pasangan?”
Rui En tersenyum-senyum geli mendengarnya. Nonya Luo berkilah
cepat kalau ia tidak ada maksud apa-apa bertanya. Dan buru-buru pergi karena
takut Rui En akan mencecarnya. Hmm, kayaknya Nyona Luo ada hati nih ama ayahnya
Rui En.
NoQ berencana membelikan jas untuk hari pertama kerja Jing Hao.
Jing Hao menolak, karena ia tidak memerlukan jas. Mana ada guru olahraga
mengajar dengan menggunakan jas? Tapi NoQ merasa tersinggung karena Jing Hao
menolak niat tulusnya. Baiklah, Jing Hao mengalah dan membiarkan NoQ
mengambilkan jas untuknya. Tapi setelah ditanyakan ke pelayan butik, ternyata
harganya mahal banget. Jing Hao mengatakan pada NoQ agar tidak usah, dan NoQ
pun mengatakan pada pelayan kalau temannya ini tidak suka dengan modelnya.
Hahahah,,,, biar gak ketahuan tengsinnya.
Di perjalanan pulang di depan sebuah butik, NoQ melihat rok yang
sama yang pernah dibawa oleh Jing Hao beberapa hari yang lalu. Harganya, NT
25.000. NoQ heran, bagaimana bisa Jing Hao memiliki rok semahal itu. Tebakan
NoQ, jangan-jangan rok itu milik gadis yang memberikan obat malam itu?
Jing Hao mengangguk iya. NoQ minta penjelasan.
Jing Hao menceritakan semuanya. NoQ kesal mendengarnya.
Bagaimana bisa gadis itu meminta ganti rugi sebanyak itu? Dengan uang segitu kan Jing Hao bisa
menggaji bibi pengasuh dan kebakaran tidak akan terjadi. Memangnya jika sesuatu
terjadi pada ayahnya Jing Hao, gadis itu mau bertanggung jawab???
Jing Hao menyakinkan sahabatnya kalau itu memang adalah kesalahannya.
Ganti rugi ya harus tetap ganti rugi. Lagipula dia sendiri yang tidak mampu
menjaga ayahnya.
NoQ meminta nomor hape gadis itu untuk mengerjainnya. Jing Hao
tidak mau memberikannya, pasti ujung-ujungnya bukannya dikerjain, mungkin malah
digebet. Hahaha,,, Jing Hao udah bisa nebak apa yang dipikirkan oleh NoQ.
Jing Hao melihat sebuah poster tertempel. Pameran lukisan milik
Song Rui En. Ia teringat Rui En pernah berkoar akan menggelar pameran lukis.
NoQ sibuk mengomel sendiri. Ia melihat Jing Hao tidak
mendengarkannya dan Jing Hao melamun. NoQ memanggil-manggil Jing Hao berulang
kali, barulah Jing Hao menoleh ke NoQ.
“Nah kan,
kamu menyukai gadis itu?” goda NoQ.
“Hei, hei, siapa yang menyukainya!” kilah Jing Hao.
Rui En terus berdiri menghadap pintu. Berharap Min Shuo lekas
datang. Sedari tadi ponsel digenggaman tangannya. Asistennya datang dan
menanyakan ke Rui En, kenapa memandangi pintu terus? Apa sedang menunggu pacar?
Rui En membantah kalau ia tidak punya pacar. Rui En terpaksa merelakan
galerinya ditutup karena sudah malam.
Di luar, Jing Hao sudah berdiri di depan pintu, namun ia ragu
untuk masuk.
Rui En bersiap untuk pulang. Tiba-tiba asistennya bersuara,
“Anda sudah datang? Dari tadi Nona Song terus menunggumu.”
Jing Hao kaget, namun tetap tersenyum.
Rui En tersenyum kegirangan karena tentunya gadis itu mengiranya
yang datang adalah Min Shuo.
Saat Rui En berbalik…
Jedeng! Bukan Min Shuo yang datang, melainkan Jing Hao. Senyum Rui
En mendadak memudar, dan berganti dengan wajah kesal.
Jing Hao yang mendapatkan sambutan kurang baik, ia pun
berpura-pura melihat-lihat sebuah lukisan. Rui En menghampiri Jing Hao dengan
tersenyum.
“Lukisanku bagus kan?”
“Bagus.”
“Mananya yang bagus?”
“Itu…” Jing Hao bingung sendiri. Akhirnya ia jujur juga kalau ia
tidak begitu mengerti mengenai lukisan.
Rui En mengatakan kalau mereka berdua satu universitas yang
sama, dan satu angkatan lagi. Jing Hao juga tahu. Jing Hao pernah melihat Rui
En mengambil foto di tempatnya latihan.
“Kupikir saat itu kau sedang berlatih dengan serius?” kata Rui
En.
Sebenarnya lagi, Jing Hao itu harusnya masuk dua tahun yang
lalu. Tapi karena ia tak punya uang, jadinya ia terlambat masuk.
Rui En kemudian menggandeng tangan Jing Hao. Oh, Jing Hao kaget
donk. Rui En mengajak Jing Hao melihat dua lukisan utama yang berada di
galerinya. “Asalkan diikat dengan benang merah, maka akan bertemu.”
Rui En mengajak Jing Hao berkeliling melihat lukisannya.
Dikesemua lukisannya terdapat garis merah yang saling berhubungan.
Hingga mereka kembali ke titik semula di depan dua lukisan
utama. Dimanapun kita berada, setiap orang sudah diikatkan dengan benang merah.
Hanya saja tinggal bagaimana pertemuan dengan benang merah itu. Yang jauh pun
akan menjadi dekat.
Tanpa sadar Jing Hao memerhatikan Rui En. Dan, yeay! Jing Hao
sudah menyukai Rui En.
Min Shuo datang dan melihat Rui En sedang bergandengan tangan
dengan seorang pria, lantas berkata, “Wah, adik kecilku sekarang sudah berani
pacaran diam-diam.”
Rui En spontan melepaskan genggaman tangannya dari Jing Hao, dan
meluruskan secepatnya. Yang dilihat oleh Min Shuo bukanlah yang dipikirkan. Ia
dan Jing Hao tidak berpacaran.
Min Shuo menghampiri Jing Hao dan berkenalan dengannya. Bahkan
dengan terang-terangan Min Shuo memperkenalkan pacar barunya pada Rui En.
Rui En marah melihat Min Shuo menggandeng pacar barunya itu. Min
Shuo mengajak untuk makan malam bareng-bareng.
“Kak Min Shuo tidak melihat lukisanku dulu?” kata Rui En.
“Nanti aku akan menyediakan waktu seharian untuk melihatnya.
Tapi sekarang ini, pacarku sudah lapar.” Min SHuo merangkul pundak pacarnya dan
Rui En agar lekas ke restoran.
Di restoran. Rui En tidak berselera makan. Apalagi Min Shuo
mengungkit masalah mandi bersama waktu mereka berdua masih kecil. Itu membuat
Rui En malu dan kesal.
Jing Hao menangkap gurat kecemburuan di wajah Rui En. Ia teringat
Rui En pernah berkoar kalau sudah ada pria yang disukainya dan di tangannya
sudah terikat benang merah. Ternyata pria yang dimaksud adalah Li Min Shuo.
Min Shuo penasaran, bagaimana Jing Hao bisa mengejar Rui En?
“Kalian berdua berpacaran kan?”
tanya Min Shuo.
Jing Hao dan Rui En menyahut berbarengan.
“Iya!” jawab Jing Hao.
“Tidak!” jawab Rui En.
Rui En menoleh cepat ke Jing Hao. “Apa maksudmu tadi?”
“Aku dan Rui En berpacaran.” Jing Hao menjawab tegas. “Aku tidak
suka kau memegang bahunya dan mengatakannya sebagai anak perempuan. Itu tidak
sopan.” Jing Hao menatap tajam Min Shuo.
Min Shuo tertawa mendengarnya.
Min Shuo akan mengantarkan Rui En, tapi Jing Hao menolak. Min
Shuo berpikiran kalau Rui En mau bersama dengan Jing Hao. Min Shuo dan pacarnya
pergi.
Rui En marah-marah pada Jing Hao. Jing Hao tahu kenapa Rui En
marah, dan seharusnya bukan dia yang dimarahi. Pria yang disukai oleh Rui En
malah menganggapnya sebagai adik. Kalau Rui En memang suka harusnya katakan
suka, bukannya diam seperti ini. Jing Hao mencengkeram pergelangan tangan Rui
En dan mengatakan, “Kau pernah mengatakan kalau tanganmu ini sudah diikat
benang merah. Apa orang yang kau maksud adalah pria itu? Kau mau saja
mempercayai pria itu. Maaf, tapi aku tidak mempercayainya (benang merah).”
Rui En teringat dengan perkataan ibunya. Orang yang diikat
dengan benang merah, meskipun mereka awalnya musuh, tapi mereka pada akhirnya
akan bersatu juga. Rui En pernah mengikatkan benang merah ke tangan Min Shuo
ketika Min Shuo di rumah sakit. Dan, kelak jika sudah besar nanti mereka akan
menikah. Rui En kecil mencium pipi Min Shuo.
Pulang dari mengantar susu, Jing Hao melihat balon di depan
rumah dengan benang merah. Ternyata, Tuan Liang mengulur benang di rok rajut
miliknya Rui En. Jing Hao minta roknya dikembalikan, tapi Tuan Liang malah
seolah mengajak untuk bermain-main. Bibi pengasuh datang dan melihatnya dengan
tertawa.
Rui En di galerinya sibuk menari-nari mengikuti garis benang di
setiap lukisannya. Bosan. Karena tidak ada satupun orang yang datang untuk
melihat lukisannya. Mungkin karena ia masih pelukis baru yang belum punya nama.
Hingga, temannya datang dan membawakan brosur pameran lukisannya. Rui En
mengucapkan terima kasih. Temannya mengaku iri melihat Rui En yang mampu
menggelar pameran lukisannya sendiri.
“Guru Song, aku benar-benar iri.” Canda temannya.
“Guru Song. Kapan ya aku bisa dipanggil seperti itu?” Rui En
membayangkannya dengan tersenyum.
Rui En mendapat telpon dari bibi pengasuh, dimana Tuan Liang
merengek minta bertemu dengan Zhi Shu.
Jing Hao melatih anak-anak karate.
Pemilik gym mendapatkan telpon, dimana si penelpon meminta
pemilik gym untuk mencari orang untuk lomba tinju. NoQ menawarkan dirinya, tapi
pemilik gym menolak. Pemilik gym maunya sih Jing Hao, tapi Jing Hao tidak akan
begitu mudah dan pasti menolak. Apalagi dua minggu lagi Jing Hao praktik
mengajar, dan jika sampai ketahuan maka karir Jing Hao sebagai seorang guru
akan tamat.
Rui En membelikan makanan enak untuk Tuan Liang. Bibi pengasuh
meminta Rui En agar jangan membelikan Tuan Liang makanan enak lagi, nanti akan
kesusahan jika ia yang memasaknya. Rui En mengerti, ia hanya ingin membuat Tuan
Liang senang. Itu saja.
“Aku juga tidak tahu kapan bisa datang kesini lagi?” ujar Rui
En.
“Kau bertengkar dengan Jing Hao?” tanya bibi pengasuh.
Rui En diam saja.
Jing Hao berada di depan galeri Rui En. Ia menelpon Rui En dan
meminta maaf atas kejadian kemarin. Malam itu, mungkin ia salah makan obat jadi
berbicara sembarangan. Jing Hao berharap benang merah Rui En akan menyatu
dengan orang yang disukainya.
Tanpa disadari oleh Rui En jika Tuang Liang mengambil diam-diam
brosur pameran lukisan di dalam tas Rui En.
Jing Hao diseberang tidak mendengar suara Rui En dan menanyakan
apakah Rui En masih mendengarnya? Rui En seolah terdiam beberapa saat. “Iya,
aku masih disini,” kata Rui En. Jing Hao mengatakan ia berada di sekitar galeri
pameran Rui En, kalau Rui En ada di galeri, ia mau mengajak Rui En keluar untuk
makan sekalian sebagai ucapan permintaan maaf. Sayangnya, Rui En tidak ada di
galeri dan ia mengatakan, ia sudah makan.
Rui En membaca artikel ayahnya di sebuah tabloid. Ketika Tuan
Song datang, Rui En langsung membacakan artikelnya dengan bangga. “Tuang Song
akan menyumbangkan dana buat rumah sakit. Dan, bla-bla-bla…”
Tuan Song dapat membaca mood Rui En hari ini, sangat baik. Rui
En mengaku kalau ia sudah melakukan seperti apa yang dikatakan oleh ayahnya. Ia
sudah mengganti rugi, tapi ia tidak tahu bagaimana pemikiran orang itu?
Di lain tempat, mood Jing Hao pun sedang baik-baiknya. Ia
melihat sepasang kekasih dan tersenyum melihatnya. Ia lalu meminta pendapat pada
NoQ.
“NoQ, apa seharusnya aku pacaran, ya?”
NoQ kaget mendengarnya. Ia pikir telinganya sudah lama tidak
dibersihkan, jadi ia tidak mendengar dengan jelas. “Bukannya kau tidak mau
berpacaran sebelum menjadi guru olahraga dan membeli rumah?”
“Mungkin dengan berpacaran, hidupku akan jauh lebih menarik.”
Senyum Jing Hao.
NoQ malah menambahi, “Hidup bukan hanya menarik. Tapi juga penuh
dengan warna. Kakimu akan jauh lebih kuat!” NoQ pun berencana akan membantu
Jing Hao untuk mencarikan pacar.
Jing Hao tidak perlu bantuan NoQ, karena Jing Hao sudah
menambatkan hatinya pada sosok Song Rui En. Besoknya, Jing Hao menyambangi
kelas Rui En hanya sekedar memandangi wajah cantiknya. Rui En yang asyik
melukis tersadar kalau ada seseorang berdiri di depan kelasnya. Jing Hao
memudarkan senyumnya dan sok-an menjadi cool, lalu menyapa Rui En, saat
berbalik, eh tidak sengaja menabrak pintu. Rui En tertawa geli melihatnya.
Tuan Song ditemani Min Shuo ke galeri Rui En. Tuan Song
melihat-lihat lukisannya, namun ekspresinya aneh. Sama kayak Jing Hao, nggak
ngerti. Rui En datang dan orang yang disapanya adalah Min Shuo. Tuan Song
merasa cemburu, “Apakah dimatamu hanya ada Min Shuo saja?”
Tuan Song, Rui En, dan Min Shuo berada di sebuah kafe. Tuan Song
berencana membangun sebuah rumah sakit dengan biaya pengobatan murah. Jadi
mereka yang kurang mampu bisa berobat tanpa harus memikirkan biaya yang mahal.
Tuan Song meminta Min Shuo untuk bergabung di rumah sakitnya, karena Tuan Song
mempercayai kemampuan Min Shuo. Oh, ternyata Min Shuo dokter toh…
Lalu, pembicaraan beralih menjadi pembicaraan pribadi. Tuan Song
sudah mengenal Min Shuo sejak kecil hingga sekarang ini. Untuk itu, Tuan Song
hendak menyerahkan Rui En pada Min Shuo. Rui En senyam-senyum kegirangan. Tapi,
Min Shuo…
Tuan Song ingin menetapkan tanggal pertunangan untuk Rui En dan
Min Shuo. Tuan Song pergi. Sengaja membiarkan Rui En dan Min Shuo berduaan.
Rui En masih belum bisa meredamkan senyam-senyum kegirangannya.
“Sepertinya ayah tadi terlalu berlebihan.”
“Sepertinya ayahmu belum tahu kalau kau sudah punya pacar.”
Kata-kata Min Shuo memotong senyum Rui En. Rui En menyakinkan ke
Min Shuo, kalau ia tidak berpacaran. Tapi apa yang dikatakan oleh Min Shuo:
“Rui En, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri.”
Secara otomatis Rui En ditolak. Malahan, Min Shuo akan
mengatakan pada Tuan Song untuk membatalkan pertunangan ini. “Biar aku saja
yang bilang sama ayah,” kata Rui En tertunduk lemas.
Min SHuo pergi meninggalkan Rui En di mejanya. Rui En sedih.
Seorang pelayan datang dan menawarkan, apa Rui En perlu sesuatu? Rui En meminta
arak.
NoQ sibuk memperlihatkan foto gadis kenalannya ke Jing Hao. Jing
Hao tidak suka. Ya, iyalah, kan
di hatinya Jing Hao sudah ada Rui En. Tiba-tiba Jing Hao mendapat telpon dari
Rui En.
Parahnya Rui En yang sedang mabuk salah menekan nomor telpon. Ia
malah curcol nggak karuan. Rui En menumpahkan perasaan hatinya mengenai Min
Shuo. Semua orang melihatnya sebagai wanita, tapi kenapa hanya Min Shuo yang
tidak melihatnya sebagai wanita. Padahal dulu sewaktu di rumah sakit mereka
pernah berjanji akan menikah. Kemana janji itu!
Jing Hao menanyakan Rui En sekarang ada dimana, karena tangisan
Rui En makin histeris. Rui En mengatakan ia ada di tempat pameran.
Tanpa berpikir panjang lagi, Jing Hao berlari ke tempat pameran.
Ia terkejut melihat Rui En tertidur di depan galeri. Jing Hao mendudukkan Rui
En, dan mendekapnya hangat.
Pertama kalinya dia
direpotkan bukan karena ayahnya. Saking cemasnya hati ini seakan mau meledak.
Dia seperti burung kecil yang kehilangan sayap dan begitu ringan. Takut diri
sendiri bisa melukainya. Burung kecil ini kumohon jangan membuka matanya. Jika
ia membuka matanya, maka ia akan terbang dari pelukanku.
Jing Hao menelpon Min Shuo dan mengatakan kalau saat ini Rui En
sedang mabuk. Min Shuo yang masih bertugas di rumah sakit menolak untuk
menjemput Rui En karena ia masih ada pasien. Min Shuo pun mengatakan kalau
ayahnya Rui En berencana untuk menunangkan putrinya dengannya, tapi ia menolak.
Jadi Min Shuo meminta Jing Hao untuk menjaga Rui En.
“Dimana alamat rumahnya?” tanya Jing Hao.
Jing Hao mendapat alamat rumah Rui En dari Min Shuo, tapi ia
memilih untuk menurunkan Rui En di
minimarket dekat rumah. Tidak mungkin ia mengantarkan Rui En pulang
dalam keadaan mabuk.
Rui En sadar. Ia merasa kepalanya sakit. Jing Hao menyodorkan
botol minuman ke Rui En. Rui En tanya, kenapa bisa ada Jing Hao disini? Jing
Hao menyerahkan ponsel ke tangan Rui En. Lha, ponselnya kenapa bisa ada di
tempat Jing Hao?
“Kau mabuk dan menelponku sembarangan,” ujar Jing Hao.
“Aku tadi menelpon Min Shuo agar dia menjemputmu. Tapi dia malah
memintaku untuk menjagakanmu dengan baik. Kenapa kau mau saja menangis dan
bersedih demi orang yang seperti itu? Kenapa kau mau menyukai orang seperti
itu? Carilah pria yang menyukaimu dan berpacaranlah dengannya.”
Rui En merasa kesal mendengarnya. “Siapa kau? Aku mau menyukai
siapa, itu bukan urusanmu!” Rui En mendekati Jing Hao. “Apa kau menyukaiku?”
tawanya.
“Apa kau menyukaiku? Kau yang gila bekerja dan meninggalkan
pekerjaanmu demi datang menemuiku. Aku memberikanmu obat, mengangkat telponmu,
apa kau sudah merasa mendapatkan harapan? Aku hanya merasa kasihan saja
padamu.”
Jing Hao terkejut. Kasihan? Maksudnya!
“Aku belum pernah melihat orang miskin sepertimu. Makanya aku
merasa penasaran. Mulai sekarang, jangan pernah mengganggu hidupku!” Rui En
mendorong dada Jing Hao. Rui En pergi dengan terhuyung-huyung sembari menangis.
Ia terjatuh, dan Jing Hao membiarkannya.
Jing Hao mabuk. Ia tertawa sembari menangis. Seakan mengasihani dirinya sendiri.
Besoknya, Jing Hao tidak berangkat mengantar susu, karena merasa
kurang enak badan. Bibi pengasuh menyuruh Jing Hao agar lebih menjaga
kesehatan. Jing Hao membuka kulkas dan menemukan buah dan minuman yang kalau
dihitung-hitung itu tidak murah. Jing Hao meminta bibi pengasuh agar tidak
membelikan makanan dan minuman seperti itu, karena pasti itu harganya mahal. Ia
sudah cukup berterima kasih karena teman bibi mau merenovasi rumah.
Tuan Liang keluar dari kamar dengan membawa brosur pameran lukis
milik Rui En. Jing Hao yang melihatnya lantas menanyakan pada bibi pengasuh.
Dan, bibi pengasuh menjelaskan sebenarnya dengan tergagap.
“Nona itu bilang aku harus tutup mulut. Karena nona itu merasa
punya salah dan merasa harus ganti rugi makanya aku membiarkannya masuk ke
rumah ini.”
Barulah diketahui oleh Jing Hao kalau yang merenovasi rumahnya
ini adalah Rui En. Ia kembali teringat dengan kata-kata Rui En yang hanya
mengasihaninya saja.
“Jing Hao, dia pacarmu kan?”
“Bibi, kenapa bibi membohongiku!” bentak Jing Hao marah.
Bibi pengasuh ketakutan.
Rui En bergegas datang ke galeri lukisnya karena ia mendapat
telpon dari asistennya kalau ada yang berminat membeli lukisannya. Rui En
girang banget karena mau tutup pamerannya, tapi belum ada yang terjual.
Ternyata orang yang berminat membeli lukisan Rui En adalah Jing
Hao. Jing Hao datang dengan napas tersengal dan wajah luka.
“Kenapa dengan wajahmu? Seharian ini kau berkelahi?”
“Jangan pedulikan wajahku. Aku mau membeli lukisannya.”
“Kau mana ada uang.”
Jing Hao menatap tajam Rui En.
“Maaf, maksudku bukan begitu.” Rui En tampak ketakutan dengan
tatapan mata Jing Hao. “Maaf, kemarin aku bukannya sengaja mengatakan itu.”
Jing Hao yang geram lantas melemparkan uang yang dibawanya.
Hingga uang itu berhamburan dan berjatuhan di atas lantai.
“Itu tadi uang seratus ribu. Beri aku lukisan seharga seratus
ribu itu!” hardik Jing Hao.
“Ambil uangmu lagi! Aku tidak akan menjualnya!” Rui En balas
menghardik.
“Apa kau tidak mau menjualnya!”
Rui En menampar pipi Jing Hao. Jing Hao yang sudah merasa kesal
dan capek karena bertanding tinju, akhirnya jatuh tumbang.
SUMBER: http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar