Hanya Manusia biasa yang tak sempurna,suka menulis tentang kehidupan sehari hari~

Kamis, 05 Mei 2016

Endless Love CTS (Taiwan Drama) : Episode 2

Recap: Endless Love Ep.2

 
Line 2
Rui En pergi ke pasar malam dan melihat Jing Hao bekerja. Ia teringat dengan perkataan Jing Hao kalau malam bekerja di pasar malam. Ia khusus datang untuk membawakan obat untuk Jing Hao.
Rui En menghampiri Jing Hao dan memberikan obat. Tapi Jing hao menolak karena ia tidak membutuhkan obat.
“Diam dan jangan bergerak!” Rui En berseru.
Jing Hao terdiam dan NoQ langsung menghentikan jualannya.
Rui En dengan penuh hati-hati mengoleskan obat di dekat mata Jing Hao. Jing Hao memerhatikan Rui En dengan seksama. Laga-laganya udah mulai jatuh cinta nih Jing Hao.
NoQ yang melihatnya sontak melongo bengong. Rui En tersadar karena ia terus diperhatikan oleh Jing hao, dan ia tanpa sengaja mencolok mata Jing Hao. Rui En memberikan obat ke tangan Jing Hao agar Jing Hao sendiri yang mengoleskannya.
Rui En lari terbirit-birit dan tidak sengaja menabrak pejalan kaki dan ia pun jatuh. Rui En malunya dan ia makin lari terbirit-birit. Di dalam mobil, Ru En berteriak malunya setengah mati.
Jing Hao termangu memandangi bungkusan obat yang diberikan Rui En padanya. NoQ melambai-lambaikan tangannya ke hadapan Jing Hao, namun Jing Hao tidak bergeming. NoQ mengambil bungkusan obat dan Jing Hao merebutnya kembali.
Rui En menyambangi rumah Jing Hao dengan membawa keranjang buah. Ia membuka rantai yang mengunci pintu rumah. Melangkah masuk dan melihat dinding bekas kebakaran. Tiba-tiba kepalanya dipukul dengan sendok oleh Tuan Liang.
Rui En menyapa Tuan Liang dan memberikan keranjang buah. Tuan Liang malah merengek minta nasi karena ia lapar. Rui En bingung.
Rui En akhirnya memesan makanan untuk Tuan Liang, dan memerhatikan Tuan Liang makan dengan tersenyum. Bibi pengasuh masuk ke dalam rumah dengan panik karena ia melihat pintu terbuka lebar. Takut kalau Tuan Liang kabur.
“Siapa nona?” tanya bibi pengasuh.
“Aku…” Rui En bingung mau menjawabnya.
“Dia temanku,” jawab Tuan Liang cepat.
Rui En mengangguk-angguk mengiyakan.
Jing Hao tersenyum. Sakit di wajahnya tidak terasa setelah diolesi obat yang diberikan oleh Rui En.
Rui En mengatakan kalau ia mempunyai salah pada Jing Hao, tapi ia tidak berani menemuinya. Makanya itu, ia datang diam-diam ke rumah. Bibi pengasuh malah berpikiran kalau Rui En ini pacarnya Jing Hao. Rui En membantah, ia bukan pacar Jing Hao. Bibi pengasuh malah menebaknya kalau Rui En ini menyukai Jing Hao.
Rui En ingin membantah kalau ia tidak menyukai Jing Hao, tapi ia tertahan saat melihat dinding rumah yang hangus terbakar.
Tuan Liang sudah tidur ketika Jing Hao pulang. Dalam igauannya, Tuan Liang mengatakan, “Anakku, tadi Zhi Shu datang…”
Jing Hao hanya tersenyum. Mungkin dikiranya di dalam mimpi ayahnya, ayahnya sedang bertemu dengan Zhi Shu.
Jing Hao melihat namanya di papan pengumuman. Namanya ada. Ia lulus! Jing Hao berlari kegirangan.
Rui En paginya datang membawa pasukan ke rumah Jing Hao. Ia mengerahkan para tukang untuk merenovasi rumah Jing Hao.
Bibi pengasuh takut, apa ini tidak apa-apa? Rui En menyakinkan tidak apa-apa asal bibi pengasuh tutup mulut dan mau bekerjasama dengannya. Rui En lantas mengajak Tuan Liang jalan-jalan.
Rui En dan Tuan Liang berjalan-jalan di taman. Rui En membelikan Tuan Liang balon. Tuan Liang tampak sangat bahagia.

Jing Hao menelpon bibi pengasuh untuk menanyakan ayahnya. Bibi pengasuh agak sedikit tergagap karena Tuan Liang sedang pergi dengan Rui En dan belum pulang. Bibi pengasuh terpaksa berbohong dengan mengatakan kalau Tuan Liang sedang tidur.
Tiba-tiba Rui En dan Tuan Liang datang. “Wooow,” puji Rui En saat melihat rumahnya berubah menjadi bagus.
Jing Hao mendengar ada suara di di seberang, ia menanyakan pada bibi pengasuh apa di rumah ada orang?
Bibi pengasuh berkata lirih ke Rui kalau yang sedang menelpon adalah Jing hao. Rui En langsung tutup mulut. Bibi pengasuh berbohong kembali kalau itu tadi adalah suara sales yang datang, dan segera mengakhiri telponnya.
Bibi pengasuh meminta Rui En agar mengaku saja. Rui En akan mengaku, tapi tidak untuk sekarang ini.
Tuan Liang memanggil Rui En dengan panggilan Zhi Shu. Rui En dengan lirih bertanya ke bibi pengasuh siapa Zhi Shu? Bibi pengasuh menyuruh agar tidak tanya-tanya dulu.
Bibi pengasuh lalu menceritakan siapa Zhi Shu itu? Zhi Shu adalah ibunya Jing Hao yang meninggal karena kecelakaan sewaktu Jing Hao masih kecil.
Rui En memandangi foto ibunya. Wou, ibunya bule. Aslinya Sandrine Pinna kan emang gadis keturunan Prancis-Taiwan-China pantesan wajahnya cantik begitu. Rui En curhat pada ibunya kalau ibunya Jing Hao pun sudah meninggal. “Apakah di surga ibu bertemu dengan ibunya Jing Hao? Apakah dia juga sama sepertiku yang merindukan ibu?”
Jing Hao pulang ke rumahnya dan ia bengong. Ini rumahnya atau bukan? Apa jangan-jangan ia salah masuk rumah?
Bibi pengasuh mengatakan dengan terbata-bata, dan seolah mencari banyak alasan. “Aku menceritakan pada temanku mengenai masalahmu. Dan temanku itu dengan bermurah hati menawarkan ini.”
“Terima kasih, bibi. Bisakah aku bertemu dengan temanmu itu dan mengucapkan terima kasih?”
“Itutemanku itu agak aneh. Dia juga tidak akan datang ke rumah ini. Biar aku saja yang menyampaikannya.”
Jing Hao mengangguk setuju.
Jing Hao masuk ke kamar ayahnya dan melihat ada balon. Tersenyum melihatnya. Ia berjanji pada ayahnya akan belajar dengan baik agar dapat menjadi guru olahraga. Dengan begitu, ia akan mendapatkan pekerjaan yang stabil dan memberikan kehidupan yang nyaman untuk sang ayah. Jing Hao melihat bandul kalung yang merupakan cincin nikah ayahnya mengeluar dari dalam kaos. Ia memotret cincin tersebut di dalam hapenya.
Nyonya Luo memuji lukisan Rui En, pasti kemampuan Rui En diturunkan oleh ayahnya? Rui En bilang kalau ibunya-lah yang pandai melukis. Kemudian, Nyonya Luo bertanya hati-hati ke Rui En.
“Ayahmu sudah lama menduda. Apakah ayahmu tidak ada keinginan untuk mencari pasangan?”
Rui En tersenyum-senyum geli mendengarnya. Nonya Luo berkilah cepat kalau ia tidak ada maksud apa-apa bertanya. Dan buru-buru pergi karena takut Rui En akan mencecarnya. Hmm, kayaknya Nyona Luo ada hati nih ama ayahnya Rui En.
NoQ berencana membelikan jas untuk hari pertama kerja Jing Hao. Jing Hao menolak, karena ia tidak memerlukan jas. Mana ada guru olahraga mengajar dengan menggunakan jas? Tapi NoQ merasa tersinggung karena Jing Hao menolak niat tulusnya. Baiklah, Jing Hao mengalah dan membiarkan NoQ mengambilkan jas untuknya. Tapi setelah ditanyakan ke pelayan butik, ternyata harganya mahal banget. Jing Hao mengatakan pada NoQ agar tidak usah, dan NoQ pun mengatakan pada pelayan kalau temannya ini tidak suka dengan modelnya. Hahahah,,,, biar gak ketahuan tengsinnya.
Di perjalanan pulang di depan sebuah butik, NoQ melihat rok yang sama yang pernah dibawa oleh Jing Hao beberapa hari yang lalu. Harganya, NT 25.000. NoQ heran, bagaimana bisa Jing Hao memiliki rok semahal itu. Tebakan NoQ, jangan-jangan rok itu milik gadis yang memberikan obat malam itu?
Jing Hao mengangguk iya. NoQ minta penjelasan.
Jing Hao menceritakan semuanya. NoQ kesal mendengarnya. Bagaimana bisa gadis itu meminta ganti rugi sebanyak itu? Dengan uang segitu kan Jing Hao bisa menggaji bibi pengasuh dan kebakaran tidak akan terjadi. Memangnya jika sesuatu terjadi pada ayahnya Jing Hao, gadis itu mau bertanggung jawab???
Jing Hao menyakinkan sahabatnya kalau itu memang adalah kesalahannya. Ganti rugi ya harus tetap ganti rugi. Lagipula dia sendiri yang tidak mampu menjaga ayahnya.
NoQ meminta nomor hape gadis itu untuk mengerjainnya. Jing Hao tidak mau memberikannya, pasti ujung-ujungnya bukannya dikerjain, mungkin malah digebet. Hahaha,,, Jing Hao udah bisa nebak apa yang dipikirkan oleh NoQ.
Jing Hao melihat sebuah poster tertempel. Pameran lukisan milik Song Rui En. Ia teringat Rui En pernah berkoar akan menggelar pameran lukis.
NoQ sibuk mengomel sendiri. Ia melihat Jing Hao tidak mendengarkannya dan Jing Hao melamun. NoQ memanggil-manggil Jing Hao berulang kali, barulah Jing Hao menoleh ke NoQ.
“Nah kan, kamu menyukai gadis itu?” goda NoQ.
“Hei, hei, siapa yang menyukainya!” kilah Jing Hao.
Rui En terus berdiri menghadap pintu. Berharap Min Shuo lekas datang. Sedari tadi ponsel digenggaman tangannya. Asistennya datang dan menanyakan ke Rui En, kenapa memandangi pintu terus? Apa sedang menunggu pacar? Rui En membantah kalau ia tidak punya pacar. Rui En terpaksa merelakan galerinya ditutup karena sudah malam.
Di luar, Jing Hao sudah berdiri di depan pintu, namun ia ragu untuk masuk.
Rui En bersiap untuk pulang. Tiba-tiba asistennya bersuara, “Anda sudah datang? Dari tadi Nona Song terus menunggumu.”
Jing Hao kaget, namun tetap tersenyum.
Rui En tersenyum kegirangan karena tentunya gadis itu mengiranya yang datang adalah Min Shuo.
Saat Rui En berbalik…
Jedeng! Bukan Min Shuo yang datang, melainkan Jing Hao. Senyum Rui En mendadak memudar, dan berganti dengan wajah kesal.
Jing Hao yang mendapatkan sambutan kurang baik, ia pun berpura-pura melihat-lihat sebuah lukisan. Rui En menghampiri Jing Hao dengan tersenyum.
“Lukisanku bagus kan?”
“Bagus.”
“Mananya yang bagus?”
“Itu…” Jing Hao bingung sendiri. Akhirnya ia jujur juga kalau ia tidak begitu mengerti mengenai lukisan.
Rui En mengatakan kalau mereka berdua satu universitas yang sama, dan satu angkatan lagi. Jing Hao juga tahu. Jing Hao pernah melihat Rui En mengambil foto di tempatnya latihan.
“Kupikir saat itu kau sedang berlatih dengan serius?” kata Rui En.
Sebenarnya lagi, Jing Hao itu harusnya masuk dua tahun yang lalu. Tapi karena ia tak punya uang, jadinya ia terlambat masuk.
Rui En kemudian menggandeng tangan Jing Hao. Oh, Jing Hao kaget donk. Rui En mengajak Jing Hao melihat dua lukisan utama yang berada di galerinya. “Asalkan diikat dengan benang merah, maka akan bertemu.”
Rui En mengajak Jing Hao berkeliling melihat lukisannya. Dikesemua lukisannya terdapat garis merah yang saling berhubungan.
Hingga mereka kembali ke titik semula di depan dua lukisan utama. Dimanapun kita berada, setiap orang sudah diikatkan dengan benang merah. Hanya saja tinggal bagaimana pertemuan dengan benang merah itu. Yang jauh pun akan menjadi dekat.
Tanpa sadar Jing Hao memerhatikan Rui En. Dan, yeay! Jing Hao sudah menyukai Rui En.
Min Shuo datang dan melihat Rui En sedang bergandengan tangan dengan seorang pria, lantas berkata, “Wah, adik kecilku sekarang sudah berani pacaran diam-diam.”
Rui En spontan melepaskan genggaman tangannya dari Jing Hao, dan meluruskan secepatnya. Yang dilihat oleh Min Shuo bukanlah yang dipikirkan. Ia dan Jing Hao tidak berpacaran.
Min Shuo menghampiri Jing Hao dan berkenalan dengannya. Bahkan dengan terang-terangan Min Shuo memperkenalkan pacar barunya pada Rui En.
Rui En marah melihat Min Shuo menggandeng pacar barunya itu. Min Shuo mengajak untuk makan malam bareng-bareng.
“Kak Min Shuo tidak melihat lukisanku dulu?” kata Rui En.
“Nanti aku akan menyediakan waktu seharian untuk melihatnya. Tapi sekarang ini, pacarku sudah lapar.” Min SHuo merangkul pundak pacarnya dan Rui En agar lekas ke restoran.
Di restoran. Rui En tidak berselera makan. Apalagi Min Shuo mengungkit masalah mandi bersama waktu mereka berdua masih kecil. Itu membuat Rui En malu dan kesal.
Jing Hao menangkap gurat kecemburuan di wajah Rui En. Ia teringat Rui En pernah berkoar kalau sudah ada pria yang disukainya dan di tangannya sudah terikat benang merah. Ternyata pria yang dimaksud adalah Li Min Shuo.
Min Shuo penasaran, bagaimana Jing Hao bisa mengejar Rui En?
“Kalian berdua berpacaran kan?” tanya Min Shuo.
Jing Hao dan Rui En menyahut berbarengan.
“Iya!” jawab Jing Hao.
“Tidak!” jawab Rui En.
Rui En menoleh cepat ke Jing Hao. “Apa maksudmu tadi?”
“Aku dan Rui En berpacaran.” Jing Hao menjawab tegas. “Aku tidak suka kau memegang bahunya dan mengatakannya sebagai anak perempuan. Itu tidak sopan.” Jing Hao menatap tajam Min Shuo.
Min Shuo tertawa mendengarnya.
Min Shuo akan mengantarkan Rui En, tapi Jing Hao menolak. Min Shuo berpikiran kalau Rui En mau bersama dengan Jing Hao. Min Shuo dan pacarnya pergi.
Rui En marah-marah pada Jing Hao. Jing Hao tahu kenapa Rui En marah, dan seharusnya bukan dia yang dimarahi. Pria yang disukai oleh Rui En malah menganggapnya sebagai adik. Kalau Rui En memang suka harusnya katakan suka, bukannya diam seperti ini. Jing Hao mencengkeram pergelangan tangan Rui En dan mengatakan, “Kau pernah mengatakan kalau tanganmu ini sudah diikat benang merah. Apa orang yang kau maksud adalah pria itu? Kau mau saja mempercayai pria itu. Maaf, tapi aku tidak mempercayainya (benang merah).”
Rui En teringat dengan perkataan ibunya. Orang yang diikat dengan benang merah, meskipun mereka awalnya musuh, tapi mereka pada akhirnya akan bersatu juga. Rui En pernah mengikatkan benang merah ke tangan Min Shuo ketika Min Shuo di rumah sakit. Dan, kelak jika sudah besar nanti mereka akan menikah. Rui En kecil mencium pipi Min Shuo.
Pulang dari mengantar susu, Jing Hao melihat balon di depan rumah dengan benang merah. Ternyata, Tuan Liang mengulur benang di rok rajut miliknya Rui En. Jing Hao minta roknya dikembalikan, tapi Tuan Liang malah seolah mengajak untuk bermain-main. Bibi pengasuh datang dan melihatnya dengan tertawa.
Rui En di galerinya sibuk menari-nari mengikuti garis benang di setiap lukisannya. Bosan. Karena tidak ada satupun orang yang datang untuk melihat lukisannya. Mungkin karena ia masih pelukis baru yang belum punya nama. Hingga, temannya datang dan membawakan brosur pameran lukisannya. Rui En mengucapkan terima kasih. Temannya mengaku iri melihat Rui En yang mampu menggelar pameran lukisannya sendiri.
“Guru Song, aku benar-benar iri.” Canda temannya.
“Guru Song. Kapan ya aku bisa dipanggil seperti itu?” Rui En membayangkannya dengan tersenyum.
Rui En mendapat telpon dari bibi pengasuh, dimana Tuan Liang merengek minta bertemu dengan Zhi Shu.
Jing Hao melatih anak-anak karate.
Pemilik gym mendapatkan telpon, dimana si penelpon meminta pemilik gym untuk mencari orang untuk lomba tinju. NoQ menawarkan dirinya, tapi pemilik gym menolak. Pemilik gym maunya sih Jing Hao, tapi Jing Hao tidak akan begitu mudah dan pasti menolak. Apalagi dua minggu lagi Jing Hao praktik mengajar, dan jika sampai ketahuan maka karir Jing Hao sebagai seorang guru akan tamat.
Rui En membelikan makanan enak untuk Tuan Liang. Bibi pengasuh meminta Rui En agar jangan membelikan Tuan Liang makanan enak lagi, nanti akan kesusahan jika ia yang memasaknya. Rui En mengerti, ia hanya ingin membuat Tuan Liang senang. Itu saja.
“Aku juga tidak tahu kapan bisa datang kesini lagi?” ujar Rui En.
“Kau bertengkar dengan Jing Hao?” tanya bibi pengasuh.
Rui En diam saja.
Jing Hao berada di depan galeri Rui En. Ia menelpon Rui En dan meminta maaf atas kejadian kemarin. Malam itu, mungkin ia salah makan obat jadi berbicara sembarangan. Jing Hao berharap benang merah Rui En akan menyatu dengan orang yang disukainya.
Tanpa disadari oleh Rui En jika Tuang Liang mengambil diam-diam brosur pameran lukisan di dalam tas Rui En.
Jing Hao diseberang tidak mendengar suara Rui En dan menanyakan apakah Rui En masih mendengarnya? Rui En seolah terdiam beberapa saat. “Iya, aku masih disini,” kata Rui En. Jing Hao mengatakan ia berada di sekitar galeri pameran Rui En, kalau Rui En ada di galeri, ia mau mengajak Rui En keluar untuk makan sekalian sebagai ucapan permintaan maaf. Sayangnya, Rui En tidak ada di galeri dan ia mengatakan, ia sudah makan.
Rui En membaca artikel ayahnya di sebuah tabloid. Ketika Tuan Song datang, Rui En langsung membacakan artikelnya dengan bangga. “Tuang Song akan menyumbangkan dana buat rumah sakit. Dan, bla-bla-bla…”
Tuan Song dapat membaca mood Rui En hari ini, sangat baik. Rui En mengaku kalau ia sudah melakukan seperti apa yang dikatakan oleh ayahnya. Ia sudah mengganti rugi, tapi ia tidak tahu bagaimana pemikiran orang itu?
Di lain tempat, mood Jing Hao pun sedang baik-baiknya. Ia melihat sepasang kekasih dan tersenyum melihatnya. Ia lalu meminta pendapat pada NoQ.
“NoQ, apa seharusnya aku pacaran, ya?”
NoQ kaget mendengarnya. Ia pikir telinganya sudah lama tidak dibersihkan, jadi ia tidak mendengar dengan jelas. “Bukannya kau tidak mau berpacaran sebelum menjadi guru olahraga dan membeli rumah?”
“Mungkin dengan berpacaran, hidupku akan jauh lebih menarik.” Senyum Jing Hao.
NoQ malah menambahi, “Hidup bukan hanya menarik. Tapi juga penuh dengan warna. Kakimu akan jauh lebih kuat!” NoQ pun berencana akan membantu Jing Hao untuk mencarikan pacar.
Jing Hao tidak perlu bantuan NoQ, karena Jing Hao sudah menambatkan hatinya pada sosok Song Rui En. Besoknya, Jing Hao menyambangi kelas Rui En hanya sekedar memandangi wajah cantiknya. Rui En yang asyik melukis tersadar kalau ada seseorang berdiri di depan kelasnya. Jing Hao memudarkan senyumnya dan sok-an menjadi cool, lalu menyapa Rui En, saat berbalik, eh tidak sengaja menabrak pintu. Rui En tertawa geli melihatnya.
Tuan Song ditemani Min Shuo ke galeri Rui En. Tuan Song melihat-lihat lukisannya, namun ekspresinya aneh. Sama kayak Jing Hao, nggak ngerti. Rui En datang dan orang yang disapanya adalah Min Shuo. Tuan Song merasa cemburu, “Apakah dimatamu hanya ada Min Shuo saja?”
Tuan Song, Rui En, dan Min Shuo berada di sebuah kafe. Tuan Song berencana membangun sebuah rumah sakit dengan biaya pengobatan murah. Jadi mereka yang kurang mampu bisa berobat tanpa harus memikirkan biaya yang mahal. Tuan Song meminta Min Shuo untuk bergabung di rumah sakitnya, karena Tuan Song mempercayai kemampuan Min Shuo. Oh, ternyata Min Shuo dokter toh…
Lalu, pembicaraan beralih menjadi pembicaraan pribadi. Tuan Song sudah mengenal Min Shuo sejak kecil hingga sekarang ini. Untuk itu, Tuan Song hendak menyerahkan Rui En pada Min Shuo. Rui En senyam-senyum kegirangan. Tapi, Min Shuo…
Tuan Song ingin menetapkan tanggal pertunangan untuk Rui En dan Min Shuo. Tuan Song pergi. Sengaja membiarkan Rui En dan Min Shuo berduaan.
Rui En masih belum bisa meredamkan senyam-senyum kegirangannya. “Sepertinya ayah tadi terlalu berlebihan.”
“Sepertinya ayahmu belum tahu kalau kau sudah punya pacar.”
Kata-kata Min Shuo memotong senyum Rui En. Rui En menyakinkan ke Min Shuo, kalau ia tidak berpacaran. Tapi apa yang dikatakan oleh Min Shuo:
“Rui En, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri.”
Secara otomatis Rui En ditolak. Malahan, Min Shuo akan mengatakan pada Tuan Song untuk membatalkan pertunangan ini. “Biar aku saja yang bilang sama ayah,” kata Rui En tertunduk lemas.
Min SHuo pergi meninggalkan Rui En di mejanya. Rui En sedih. Seorang pelayan datang dan menawarkan, apa Rui En perlu sesuatu? Rui En meminta arak.
NoQ sibuk memperlihatkan foto gadis kenalannya ke Jing Hao. Jing Hao tidak suka. Ya, iyalah, kan di hatinya Jing Hao sudah ada Rui En. Tiba-tiba Jing Hao mendapat telpon dari Rui En.
Parahnya Rui En yang sedang mabuk salah menekan nomor telpon. Ia malah curcol nggak karuan. Rui En menumpahkan perasaan hatinya mengenai Min Shuo. Semua orang melihatnya sebagai wanita, tapi kenapa hanya Min Shuo yang tidak melihatnya sebagai wanita. Padahal dulu sewaktu di rumah sakit mereka pernah berjanji akan menikah. Kemana janji itu!
Jing Hao menanyakan Rui En sekarang ada dimana, karena tangisan Rui En makin histeris. Rui En mengatakan ia ada di tempat pameran.
Tanpa berpikir panjang lagi, Jing Hao berlari ke tempat pameran. Ia terkejut melihat Rui En tertidur di depan galeri. Jing Hao mendudukkan Rui En, dan mendekapnya hangat.

Pertama kalinya dia direpotkan bukan karena ayahnya. Saking cemasnya hati ini seakan mau meledak. Dia seperti burung kecil yang kehilangan sayap dan begitu ringan. Takut diri sendiri bisa melukainya. Burung kecil ini kumohon jangan membuka matanya. Jika ia membuka matanya, maka ia akan terbang dari pelukanku.
Jing Hao menelpon Min Shuo dan mengatakan kalau saat ini Rui En sedang mabuk. Min Shuo yang masih bertugas di rumah sakit menolak untuk menjemput Rui En karena ia masih ada pasien. Min Shuo pun mengatakan kalau ayahnya Rui En berencana untuk menunangkan putrinya dengannya, tapi ia menolak. Jadi Min Shuo meminta Jing Hao untuk menjaga Rui En.
“Dimana alamat rumahnya?” tanya Jing Hao.
Jing Hao mendapat alamat rumah Rui En dari Min Shuo, tapi ia memilih untuk menurunkan Rui En di  minimarket dekat rumah. Tidak mungkin ia mengantarkan Rui En pulang dalam keadaan mabuk.
Rui En sadar. Ia merasa kepalanya sakit. Jing Hao menyodorkan botol minuman ke Rui En. Rui En tanya, kenapa bisa ada Jing Hao disini? Jing Hao menyerahkan ponsel ke tangan Rui En. Lha, ponselnya kenapa bisa ada di tempat Jing Hao?
“Kau mabuk dan menelponku sembarangan,” ujar Jing Hao.
“Aku tadi menelpon Min Shuo agar dia menjemputmu. Tapi dia malah memintaku untuk menjagakanmu dengan baik. Kenapa kau mau saja menangis dan bersedih demi orang yang seperti itu? Kenapa kau mau menyukai orang seperti itu? Carilah pria yang menyukaimu dan berpacaranlah dengannya.”
Rui En merasa kesal mendengarnya. “Siapa kau? Aku mau menyukai siapa, itu bukan urusanmu!” Rui En mendekati Jing Hao. “Apa kau menyukaiku?” tawanya.
“Apa kau menyukaiku? Kau yang gila bekerja dan meninggalkan pekerjaanmu demi datang menemuiku. Aku memberikanmu obat, mengangkat telponmu, apa kau sudah merasa mendapatkan harapan? Aku hanya merasa kasihan saja padamu.”
Jing Hao terkejut. Kasihan? Maksudnya!
“Aku belum pernah melihat orang miskin sepertimu. Makanya aku merasa penasaran. Mulai sekarang, jangan pernah mengganggu hidupku!” Rui En mendorong dada Jing Hao. Rui En pergi dengan terhuyung-huyung sembari menangis. Ia terjatuh, dan Jing Hao membiarkannya.
Jing Hao mabuk. Ia tertawa sembari menangis. Seakan mengasihani dirinya sendiri.
Besoknya, Jing Hao tidak berangkat mengantar susu, karena merasa kurang enak badan. Bibi pengasuh menyuruh Jing Hao agar lebih menjaga kesehatan. Jing Hao membuka kulkas dan menemukan buah dan minuman yang kalau dihitung-hitung itu tidak murah. Jing Hao meminta bibi pengasuh agar tidak membelikan makanan dan minuman seperti itu, karena pasti itu harganya mahal. Ia sudah cukup berterima kasih karena teman bibi mau merenovasi rumah.
Tuan Liang keluar dari kamar dengan membawa brosur pameran lukis milik Rui En. Jing Hao yang melihatnya lantas menanyakan pada bibi pengasuh. Dan, bibi pengasuh menjelaskan sebenarnya dengan tergagap.
“Nona itu bilang aku harus tutup mulut. Karena nona itu merasa punya salah dan merasa harus ganti rugi makanya aku membiarkannya masuk ke rumah ini.”
Barulah diketahui oleh Jing Hao kalau yang merenovasi rumahnya ini adalah Rui En. Ia kembali teringat dengan kata-kata Rui En yang hanya mengasihaninya saja.
“Jing Hao, dia pacarmu kan?”
“Bibi, kenapa bibi membohongiku!” bentak Jing Hao marah.
Bibi pengasuh ketakutan.
Rui En bergegas datang ke galeri lukisnya karena ia mendapat telpon dari asistennya kalau ada yang berminat membeli lukisannya. Rui En girang banget karena mau tutup pamerannya, tapi belum ada yang terjual.
Ternyata orang yang berminat membeli lukisan Rui En adalah Jing Hao. Jing Hao datang dengan napas tersengal dan wajah luka.
“Kenapa dengan wajahmu? Seharian ini kau berkelahi?”
“Jangan pedulikan wajahku. Aku mau membeli lukisannya.”
“Kau mana ada uang.”
Jing Hao menatap tajam Rui En.
“Maaf, maksudku bukan begitu.” Rui En tampak ketakutan dengan tatapan mata Jing Hao. “Maaf, kemarin aku bukannya sengaja mengatakan itu.”
Jing Hao yang geram lantas melemparkan uang yang dibawanya. Hingga uang itu berhamburan dan berjatuhan di atas lantai.
“Itu tadi uang seratus ribu. Beri aku lukisan seharga seratus ribu itu!” hardik Jing Hao.
“Ambil uangmu lagi! Aku tidak akan menjualnya!” Rui En balas menghardik.
“Apa kau tidak mau menjualnya!”
Rui En menampar pipi Jing Hao. Jing Hao yang sudah merasa kesal dan capek karena bertanding tinju, akhirnya jatuh tumbang.
 
 
SUMBER: http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar