Recap: Endless Love Ep.1
Endless Love
Judul : Endless Love / Ai ∞ Wu
Xian
Genre : Romance
Episode:
15
Tayang
: CTS, 22 Agustus 2010, pk. 22:00-23:30 waktu Taiwan
Produser
: Chai Zhi Ping, Chen Qian Ru
Sutradara
: Lin He Long
Penulis
naskah : Quan Zhao Juan, Li Xiao Zhen, Jiang Jia Hua, Xiao K
Pemain:
Wilber Pan sebagai Liang Jing Hao
Sandrine Pinna sebagai Song Rui En
Lin Yo Wei sebagai Li Min Shuo
Sumiya Nemi sebagai Xu Xin Jie
-
Allen Chao sebagai Song Wan Ji
-
Wang Mon Ling sebagai Liang Fu Cheng
-
Bu Xue Liang sebagai Gym owner
-
Huang Deng Hui sebagai NoQ
-
Huang Zhong Kun sebagai Mob boss
-
Ge Lei sebagai Luo Hui Ying
-
Linda Liao sebagai Zhao Bi Yun
-
Chen Shi Ying sebagai Tong Tong
-
Angus Zhang sebagai Mei Ru
Soundtrack Endless Love:
* Opening theme song: Wo Men Dou Pa Tong oleh Wilber Pan
* Ending theme song: Cai Hong Yu oleh Huang Yu Xun
* Opening theme song: Wo Men Dou Pa Tong oleh Wilber Pan
* Ending theme song: Cai Hong Yu oleh Huang Yu Xun
Phoo Purarora
Login
Line 1
Cerita diawali dengan kegiatan seorang remaja pria bernama Liang
Jing Hao. Sedari pagi kesibukannya sudah tampak. Bangun tidur, mengantarkan
susu, belajar di kampus, melatih anak-anak karate, dan malamnya berjualan baju
di pasar malam.
Sayangnya, jualannya di pasar malam termasuk illegal, karena
tidak dapat ijin dari petugas.
Sang sahabat, NoQ, malah menyarankan Jing Hao untuk menjual tas
tiruan. Tas model KW gitu-lah. Tapi, Jing Hao menolak karena itu sama saja
melanggar hukum. NoQ balik menyerang, “Memangnya berjualan disini tidak
melangar hukum juga?”
NoQ terus merayu Jing Hao, hingga rayuannya membuat Jing Hao
tertawa. Melihat tawa Jing Hao, NoQ menyakinkan kalau itu tanda Jing Hao sudah
setuju.
Tiba-tiba, terdengar bunyi peluit. Polisi datang! Pasar malam
bubar. NoQ yang belum menggelar barang dagangannya langsung melemparkan tas
kopernya. Jing Hao lari terbirit-birit mendorong troli bajunya.
Di sebuah gang tak jauh dari pasar malam itu, seorang gadis
bernama Song Rui En sedang menelpon seseorang. Ia baru saja melihat-lihat
lokasi sekitar. Beberapa orang menabraknya. “Hei, apa-apan kalian!” omel Rui
En.
Jing Hao terus mendorong troli bajunya dan berpapasan dengan Rui
En yang tengah sibuk menelpon. Nyaris lagi Rui En tertabrak oleh trolinya.
Ada yang tidak disadari oleh Rui En. Benang roknya terkait di troli
baju Jing Hao. Rui En mengejar Jing Hao sembari menahan agar benang di roknya
tidak terulur banyak.
“Hei, berhenti kau!” teriak Rui En.
Jing Hao menoleh ke belakang, namun tetap terus berlari
mendorong trolinya. Dalam hatinya ia berucap, sedang apa gadis itu mengikutinya?
Rui En lalu berteriak nyaring menyuruh Jing Hao berhenti.
“Rokku terkait!” hardik Rui En.
Jing Hao melihat ada benang merah yang terkait di trolinya.
Yeay, benang merah sudah terkait! Asyik. Hore.
Jing Hao tidak menyadari jika trolinya mengaitkan benang rok
gadis itu. Rui En menutupi pahanya karena benang-benang roknya terkait banyak
di troli. Jing Hao yang melihatnya lantas tertawa.
Rui En mengganti roknya dengan celana jeans dari barang dagangan
Jing Hao. Sementara itu Jing Hao memungut sebelah higheels milik Rui En yang
terlepas karena mengejarnya. Jing Hao melihat Rui En dengan celana jeans dan
memujinya. Tapi itu tidak berefek untuk Rui En. Rui En malah melemparkan roknya
ke Jing Hao dan menuntutnya untuk ganti rugi.
Jing Hao harus terpukau mendengar roknya seharga NT 25.000.
Mahal banget. Padahal tadi saja ia baru menjual celana jeans di pasar malam
seharga NT 500. Jing Hao berjanji akan mengganti roknya dan meminta nomor
rekening Rui En. Rui En meminta agar besok uangnya sudah ditransfer.
Rui En memakai sepatunya. Pergelangan kakinya terasa sakit dan
ia pun kehilangan keseimbangannya berdiri. Alhasil… ya seperti ini deh. Jing
Hao menangkap tubuh Rui En.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Jing Hao.
“Aku tidak apa-apa. Jangan mencemaskanku.”
Jing Hao menggendong Rui En, dan Rui En memberontak agar
dilepaskan. Jing Hao mendudukkan Rui En di pinggiran buk. Melepaskan higheels
Rui En dan memeriksa kakinya.
Rui En tampak tersenyum dan memerhatikan Jing Hao. Jing Hao
mendongak dan melihat Rui En lantas bertanya, “Kenapa memerhatikanku seperti
itu?” lalu ia berlari ke minimarket untuk membeli obat.
“Kenapa ia berlari begitu cepat?” heran Rui En. Tersenyum
simpul.
Jing Hao mengobati luka di kaki Rui En. Rui En meringis menahan
sakit. Namun sesekali Rui En memerhatikan Jing Hao. Rui En mengira kalau Jing
Hao ini playboy yang dikelilingi oleh banyak wanita dan suka memperlakukan
wanita dengan lembut. Dengan berkoar bangga, Rui En mengatakan, “Dengan sikapmu
seperti ini, aku tidak akan tertarik padamu. Sudah ada orang yang aku sukai,
dan tanganku sudah terikat benang merah dengan orang itu.”
Jing Hao malah tertawa mendengar Rui En berkata seperti itu.
Namun, senyumnya memudar seketika saat Rui En menyindirnya. “Kita baru pertama
kali bertemu, dan aku tidak mempercayaimu apakah kau akan mengganti rugi atau
tidak? Hanya dengan melihatnya saja aku sudah tahu, kau seperti orang yang
tidak punya uang.”
“Percayalah padaku. Aku akan menggantinya.” Jing Hao
menyakinkan.
Jing Hao mengantarkan Rui En sampai di mobilnya, dan ia pun
memberikan plastik belanjaan. Jing Hao tidak hanya membeli obat, tapi ia pun
membeli yang lain.
“Setelah transfer, segera sms aku,” perintah Rui En.
Jing Hao pergi dengan mendorong trolinya. Rui En mengambil
permen lollipop di dalam kantongan plastiknya. Menoleh ke belakang dan melihat
Jing Hao. “Apa aku keterlaluan, ya? Ganti rugi tetaplah ganti rugi!”
Pemilik gym (aduh aku nggak tahu siapa namanya) mencari Jing Hao
untuk mengikuti perlombaan tinju. NoQ mengajukan dirinya agar memakainya saja,
karena ia butuh uang untuk membayar tagihan kartu kreditnya. Pemilik gym tidak
mau, karena NoQ pasti akan langsung KO di ronde pertama. Ia berharap NoQ
membantunya untuk membujuk Jing Hao.
Jing Hao datang dan bertanya, membujuknya apa? NoQ menjelaskan
mengenai lomba tinju. Jing Hao marah dan menegaskan tidak akan ikut lomba itu.
Apalagi itu adalah lomba tinju illegal. Itu sama saja melanggar hukum. Lagipula
ia diharuskan bertahan sampai di ronde kelima, dan setelahnya mengaku kalah.
Jing Hao tidak mau melakukannya apalagi bertanding untuk kalah.
“Iya, aku mengerti. Seorang guru olahraga sepertimu tidak akan
mau melakukannya,” pemilik gym menyerah terpaksa.
Jing Hao memegang rok merah itu. NoQ mengambil rok itu, “Aku
tidak pernah melihat rok ini?” Jing Hao merebut rok itu dari tangan NoQ.
“Sepertinya mood Jing Hao hari ini tidak baik?” bisik pemilik
gym.
“Apa dia bertemu sesuatu ya?” NoQ ikut berbisik.
Karena pulangnya terlalu malam, Rui En berjalan dengan
berjingkit-jingkit. Pelan-pelan sambil menentng kedua sepatunya. Sayangnya,
ayahnya yaitu Song Wan Ji memergokinya. Rui En memasang tampang muwanis
bangeeeeeeet.
Rui En mengadu sambil merengek manja kalau ia terlambat pulang
karena kakinya terluka. Ayahnya mengkhawatirkan putri satu-satunya pulang malam
karena itu berbahaya. Dengan berkelakar bangga Rui En bersuara, “Ayah takut
putrinya yang cantik ini diganggu orang ya?”
Sang ayah tentu saja takut putri tercintanya diganggu orang
jahat.
Rui En berada di kamarnya. Sebagai jaminannya, Jing Hao
memberikan kartu pelajarnya. Ternyata Jing Hao itu satu universitas dengannya.
Hanya saja Jing Hao mengambil jurusan pendidikan jasmani.
Kalau ia tahu si Jing Hao itu satu universitas dengannya, maka
ia tidak akan begitu keterlaluan seperti tadi itu. Ia mengirimkan sebuah pesan
untuk mengucapkan terima kasih atas obatnya. Namun, ia menghapusnya, takutnya
nanti Jing Hao akan salah paham dan mungkin akan menganggapnya menyukai pria
itu.
Jing Hao menerima sebuah pesan dalam perjalanan pulang ke
rumahnya. Pesan yang mengingatkannya agar mentransfer uangnya besok, dan kartu
pelajarnya akan dikembalikan.
Di depan rumah ia sudah dihadang oleh bibi pengasuh yang
mengomelinya karena pulang terlambat. Bibi itu sedikit kesal karena menjagakan
ayahnya Jing Hao selarut ini. Yang punya keluarga tidak hanya Jing Hao saja,
tapi bibi itu pun juga punya keluarga yang menunggunya di rumah. Lalu, tangan
si bibi menagih uang gajinya dibayar.
Jing Hao meminta bibi bersabar sampai besok lusa, karena ia
memiliki keperluan mendadak. Bibi pengasuh kembali kesal, karena ia pun butuh
uang, dan keterlambatan gajinya sudah kerap kali. Melihat kesusahan di wajah
Jing Hao, akhirnya si bibi pengasuh memberikan waktu gajinya dibayar sampai
besok lusa. Tentu saja Jing Hao senang dan mengucapkan terima kasih.
Liang Fu Cheng, ayahnya Jing Hao duduk di depan rumah sambil
makan coklat. Ia sedang menunggu Zhi Shu datang. Jing Hao mengatakan jika
sekarang ini nona Zhi Shu sudah berada di surga. Ayah yang sedang mengalami
gangguan kejiwaan berkata ingin ikut pergi ke surga juga. Bahkan sang ayah
tidak mengenali Jing Hao sebagai anaknya dan memanggil Jing Hao dengan
panggilan anak muda.
Jing Hao mengipasi ayahnya yang sedang tidur. Ouw, nice! Lalu ia mengambil bingkai foto
bersama ayah-ibunya sembari berkata, “Nona Zhi Shu, aku sudah pulang.”
Zhi Shu yang dimaksud oleh ayahnya Jing hao itu adalah ibunya.
Pagi Jing Hao dimulai. Pengantar susu. Tak ada guratan capek
yang terpancar dari wajahnya, dan selalu menyunggingkan senyuman hangat. Jing
Hao dengan berbaik hati memberikan susu untuk seekor anak anjing. Bahkan
mengecup anak anjingnya. NICE!
Butuh uang, Jing Hao meminta gajinya dibayar lebih dulu. Tapi
atasan tempat Jing Hao bekerja menolak dengan alasan, dua bulan yang lalu pun
Jing Hao mengambilnya lebih dulu. Sekarang ini perekonomian sedang sulit. Jing
Hao mengerti.
Rui En dimintai tolong temannya untuk memotretkan foto
pertandingan tinju yang diadakan bulan depan. Mereka pun menuju ke lokasi
pelatihan. Di depan jendela, Rui En seolah langsung tertancap pada sosok Jing
Hao yang sedang memukul karung sasak tinju. Teman Rui En menyenggol Rui En agar lekas
memotret.
Sip! Pose yang keren.
Teman Rui En heran dengan hasil jepretan Rui En dimana
kesemuanya adalah wajah Jing Hao. Menurut Rui En, karena hanya gaya pria itu saja yang menarik. Temannya
setuju karena Jing Hao itu banyak disukai oleh perempuan di kampus, selain itu
Jing Hao paling jago berolahraga. Rui En seolah tidak tertarik dengan cerita
temannya mengenai Jing Hao.
Temannya meledek Rui En, “Daripada Kak Min Sho-mu yang kau
cintai diam-diam itu.”
“Itu kan
berbeda,” ujar Rui En.
Jing Hao ngeprint buku tabungannya. Sisa tabungannya tidak
banyak. Sekarat. Dilemma. Antara mau bayar ganti rugi atau gaji bibi pengasuh.
Ia lantas mengirimkan pesan ke Rui En dan meminta waktu beberapa hari lagi.
Rui En yang seorang mahasiswi jurusan seni sedang berada di
kelas melukis. Sebuah pesan masuk ke dalam hapenya dari Jing Hao yang meminta
perpanjangan waktu. Rui En mengiranya kalau Jing Hao sejak awal memang tidak
berniat untuk mengganti rugi.
Jing Hao tidak menyangka kalau berjualan tas tiruan lebih mudah.
NoQ mengusulkan Jing Hao agar mencoba menjualnya, daripada menjual baju yang
untung sedikit. Sama-sama melanggar peraturan, lebih baik langgar saja
sekalian. Jing Hao menjual tas tiruan pertamanya. Seorang gadis datang dan
memilih tas warna merah. Jing Hao yang tidak tahu harga lalu melirik ke NoQ,
dan NoQ memberikan harganya dengan dua jari tangannya. Dua ribu. Mudah kan berjualannya?
Jing Hao malah meminta NoQ mencarikan kerja sampingan lagi
untuknya. NoQ memprotes. Kerja sampingan lagi! Selama ini saja Jing Hao hanya
tidur empat jam sehari. Masih sanggup kerja sampingan? Ketika tas kedua hendak
dijual Jing Hao, polisi datang. Pasar malam bubar jalan lagi.
Rui En sedang menelpon dan mengadu karena lampu jalannya tidak
menyala. Jing Hao tengah berlari mendorong trolinya. Berhenti karena melihat
Rui En yang sedang membelakanginya.
Benar-benar berjodoh.
Rui En membalikkan badannya dan memasang wajah sebal ketika
melihat Jing Hao dengan trolinya. Jing Hao―melongo. Jing Hao
mengira kalau Rui En sedang menunggunya. Ekh? Rui En tidak segila itu menunggu
Jing Hao dan datang menagih 25.000.
Lalu sedang apa dua hari belakangan ini Rui En berada di gang
ini?
Dengan penuh kepercayaan dirinya, Rui En menunjuk sebuah toko di
depan yang akan digunakannya sebagai pameran lukisannya. Tidak semua orang bisa
lho menggelar pameran lukisnya sendiri.
Lagi-lagi, Jing Hao tertawa melihat Rui En dengan kepercayaan
dirinya. Mendadak senyum Rui En hilang karena ia merasa Jing Hao ini aneh. Jing
Hao tertawa karena ia merasa kalau Rui En ini lucu.
Rui En tidak akan termakan oleh rayuan Jing Hao. Karena ia bukan
perempuan yang mudah ditipu. Lalu ia menyindir Jing Hao yang katanya akan
membayar ganti rugi tapi nyatanya tidak membayar. Jing Hao memastikan akan
membayarnya.
“Kau saja berani menjual tas tiruan. Berarti kau juga bisa
berbohong.” Rui En menyindir Jing Hao dengan membandingkan tas tiruan yang
tergantung di troli.
Jing Hao langsung terdiam. “Besok aku akan mentransfer uangnya.”
Pergi dengan mendorong trolinya.
Rui En kembali menyesal karena setiap kali bertemu dengan Jing
Hao―entah kenapa―malah berbicara yang keterlaluan
seperti tadi.
Jing Hao kesal setengah mati. Rok yang disimpannya di dalam paper bag dikeluarkannya dan dibuangnya
ke dalam keranjang sampah. Kemudian, roknya dipungutnya kembali, memasukkannya
ke dalam paper bag kembali. Tangannya
meraih buku tabungan.
Keputusan Jing Hao sudah bulat. Ia mentransfer uang seperti
janjinya tadi malam.
Sebuah pesan masuk ke dalam hape Rui En. Pesan yang
memberitahukan kalau uangnya sudah ditransfer. Rui En bukannya tersenyum
senang, tapi seolah berpikir sesuatu. Tiba-tiba lamunannya dibuyarkan oleh Li
Min Shuo yang datang mengagetkannya.
Min Shuo meledek Rui En yang diam-diam sudah berani pacaran. Rui
En membantah kalau ia tidak pacaran.
Bibi pengasuh berhenti dari pekerjaannya karena Jing Hao tidak
membayar gajinya seperti yang dijanjikan. Jing Hao memohon agar bibi pengasuh
tidak berhenti, lalu siapa yang akan merawat ayahnya?
“Kau mungkin punya masalah. Aku pun juga butuh uang. Inilah
nasib kita sebagai orang miskin,” kata bibi pengasuh melangkah pergi.
Jing Hao marah. Ia menghantamkan buku tangannya ke pintu. Ayah
takut dan menawarkan coklat ke Jing Hao agar jangan marah.
“Aku tidak marah.” Jing Hao menenangkan ayahnya.
Makan siang bersama Rui En―ayahnya dan Min
Shuo―ibunya.
Nyonya Luo memuji Tuan Song karena menjadi donator kembali.
Bahkan banyak yang menjuluki Tuan Song sebagai kakek Merry Chrismast.
Rui En memberitahukan kalau ia membuka pameran lukis miliknya
minggu depan. Ia sangat mengharapkan Min Shuo agar datang di pembukaan
pertamanya. Min Shuo setuju akan datang.
Nah, Tuan Song melirik-lirik geli ke arah putrinya, yang dapat
ditebaknya kalau putrinya menyukai Min Shuo. Rui En yang mengetahui gelagat
ayahnya hanya bisa nyengir-nyengir. “Bibi, kau juga datang kan?”
Nyonya Luo pasti akan datang. Ia lalu menanyakan apakah Tuan
Song juga datang apa tidak? Sayangnya, Tuan Song sedang bepergian ke luar
negeri. Nyonya Song tampak sedikit kecewa.
Raut kekecewaan Nyonya Luo ini dapat dibaca oleh Min Shuo.
Dengan terangan-terangan Min Shuo hendak menjodohkan ibunya dengan ayahnya Rui
En. Nyonya Luo tersipu-sipu malu gimanaaa…
Tuan Song yang mengetahui putrinya menyukai Min Shuo hanya bisa
melongo bengong. Begitu pula dengan Rui En yang terkejut mendengar usulan dari
Min Shuo.
Min Shuo mengantarkan Rui En ke kampus. Rui En menanyakan
bagaimana makanan yang dibawakannya semalam? Apakah enak?
“Teman-temanku menyukai makanannya. Dimana kau membelinya?”
“Saat Kak Min Shuo lembur, aku akan membawakan makanan lagi.”
“Jika setiap kali aku lembur dibawakan makanan, nanti aku bisa
gemuk.”
Rui En dan Min Shuo saling tertawa.
Tawa Rui En tak dapat tertahan saat Min Shuo mengatakan kalau ia
menyukai―sangat―menyukai Rui En. Menyukai seperti…
seorang adik kandung. Tawa Rui En memudar seketika. Patah hati. Ditolak sebelum
sempat mengungkapkan perasaannya.
Rui En berusaha untuk tetap tegar. Ketika turun dari mobil,
dengan senyum mengembang ia melambaikan tangan pada Min Shuo. Apakah aku hanya dianggapnya sebagai adiknya
saja…
Mobil baru saja menjauh, Rui En mendapat telpon dari Min Shuo.
Masih dengan bercanda, Rui berkata, “Baru saja berpisah, sudah menelponku. Apa
kakak merindukanku?” katanya dengan suara bergetar.
Min Shuo menelpon karena ia lupa tanggal pamerannya.
Sebelum berangkat ke kampus, Jing Hao menyiapkan makanan dan
minuman untuk ayahnya. Hari ini ia tidak bisa absen, karena itu bisa
menentukannya menjadi seorang guru olahraga.
Ayahnya yang sibuk menonton kartun menyuruh putranya berangkat
saja. Jing Hao tertawa bahagia karena ia mendengar ayahnya memanggilnya dengan
panggilan ‘nak’ dan bukannya ‘anak muda.’ Ayahnya bilang kalau ia bukan orang
bodoh yang tidak mengenali anaknya sendiri. Semakin berbunga-bunga bahagia hati
Jing Hao.
Terpaksa Jing Hao mengunci ayahnya dari luar dengan menggunakan
sendok. Agak ragu juga ia meninggalkan ayahnya seorang diri di rumah.
Rui En masuk ke kelas melukisnya dengan membanting tasnya kesal.
Kartu pelajar milik Jing Hao meloncat keluar dari dalam tas. Ia ingat akan
mengembalikan kartu pelajarnya jika uangnya sudah ditransfer.
Rui En mencari Jing Hao dan berlari mengejarnya ketika sudah
menemukannya.
“Liang Jing Hao!” panggil Rui En.
Jing Hao menoleh dan melihat Rui En menghampirinya.
Rui En menyerahkan kartu pelajar ke tangan Jing Hao.
“Hutang sudah dibayar, kartu pelajarku pun sudah dikembalikan.
Mulai sekarang kita tidak akan bertemu lagi.” Jing Hao memastikan.
“Hei, siapa juga yang mau bertemu denganmu,” kata Rui En.
Jing Hao pergi ke kelas berikutnya. Rui Eun hendak menaiki anak
tangga, tapi ia menahannya. “Kelasku kan
bukan disana.”
Rui En berjalan di belakang Jing Hao, lalu ia melangkah lebih
dahulu dengan membuang muka. Hape Jing Hao berdering.
“Apa! Kebakaran?! Ayahku bagaimana!!” panik Jing Hao bergegas
menuju ke rumahnya.
Rui En yang tidak sengaja mencuri dengar ikut panik.
Rui En menyetop Jing Hao yang tengah berlari dan menawarkan
tumpangannya. Jing Hao memerintah Rui En untuk pindah duduk, karena ia yang
akan menyetir mobilnya. Jing Hao mengebut, dan Rui En berpegangan saking takutnya.
Jing Hao berlari membelah kerumbunan orang-orang.
Jing Hao mau menerjang masuk ke dalam rumahnya, namun dihalangi
oleh seorang petugas pemadam kebakaran. Jing Hao bersikeras untuk masuk, karena
ayahnya masih ada di dalam rumah. Petugas pemadam kebakaran menanyakan, apakah
orangtua yang dimaksud adalah pria berusia enam puluh tahunan? Jing Hao
mengangguk.
Petugas pemadam kebakaran itu menunjuk ke sebuah rumah dimana
seorang pria dengan wajah kotor memerhatikan rumah yang terbakar itu. Tangannya
memegangi botol susu. “Rumah siapa itu yang terbakar?” katanya.
Tanpa memerdulikan apapun lagi. Jing Hao berlari memeluk ayahnya
dengan perasaan bercampur antara lega dan khawatir.
Dua orang tetangga Jing Hao merasa heran, karena biasanya kan ada bibi pengasuh
yang merawat ayah Jing Hao. Tapi tiba-tiba saja bibi itu berhenti. Padahal kan Jing Hao itu selalu
membayar gaji pengasuhnya.
Rui En yang tidak sengaja mendengarkannya mulai berpikir.
Ada sebongkah rasa penyesalan di dalam hati Rui En. Ternyata lelaki
itu meminta waktu bukannya tidak mau membayar ganti rugi, tapi karena lelaki
itu memang sedang membutuhkan uang.
Jing Hao dibantu oleh NoQ membersihkan rumah. NoQ bilang kalau
dindingnya sudah hitam jadi tidak bisa dibersihkan. Jing Hao menyuruh NoQ agar
tetap membersihkan, lagian ia tidak punya uang untuk membeli cat.
Ayah datang dan bermain air sabun dalam ember. Jing Hao
melarangnya, tapi ayah malah menempelkan busa sabun ke hidung Jing Hao dengan
gembiranya. Jing Hao memerhatikan ayahnya lekat, seolah mengasihani dirinya
sendiri. Ia berlari keluar dan meminta NoQ untuk menjagakan ayahnya sebentar.
Perasaan Rui En semakin tidak nyaman. Tuan Song mengiranya
putrinya bad mood gara-gara Min Shuo yang hendak menjodohkannya dengan ibunya.
Tuan Song menyakinkan putrinya kalau ia dan ibunya Min Shuo tidak ada hubungan
apa-apa. Lagipula, Min Shuo itu sudah dianggapnya sebagai menantu sendiri. Tapi
bukan itu masalah mood Rui En buruk.
“Ayah, gara-gara aku seseorang mendapatkan kesusahan.”
“Jangan-jangan kau sengaja.”
“Aku tidak sengaja!”
Tuan Song menasehati putrinya jika kita bersikap secara tulus,
maka orang itu pasti akan mengerti.
Rui Eun masih memikirkan keadaan Jing Hao. Lollipop dipeganginya
tanpa berniat untuk dimakannya.
Perasaan Rui En semakin tidak nyaman saat menyambangi rumah Jing
Hao dan melihat dinding yang hangus terbakar. Sejumlah uang sudah disiapkannya
untuk Jing Hao, tapi justru itu semakin membuatnya merasa tidak nyaman
perasaannya.
Sementara itu, Jing Hao sudah memutuskan untuk mengikuti lomba
tinju. Pemilik gym mengatakan pada Jing Hao untuk bertahan sampai ronde kelima,
setelahnya Jing Hao harus menyerah. Dengan begitu, uang sudah ada ditangan.
Kak Kun, si preman berkacamata memerhatikan Jing Hao dengan
seksama.
Sempat menghindar, namun ia harus merelakan dirinya dihantam
oleh lawannya. Jatuh-bangun ia tetap bertahan sampai ronde kelima.
Ronde kelima berakhir bersamaan dengan dipukul tumbangnya ia
oleh lawannya. Dunia ini begitu kejam.
Ini tidak adil padanya…
Jing Hao memberikan gaji pada bibi pengasuh, beserta tambahan
bonus. Anggap saja bonus itu sebagai keterlambatannya membayar gaji. Berharap
bibi pengasuh itu mau kembali bekerja menjagakan ayahnya. Bibi pengasuh tampak
mengkhawatirkan wajah penuh lebam Jing Hao.
NoQ keheranan pada Jing Hao. Kerja sampingan mati-matian tapi
kenapa tidak sanggup membayar gaji pengasuh untuk ayahnya? Jing Hao tidak mau
berbagi cerita, ia lebih memilih untuk minum arak. NoQ si sahabat yang baik
menemaninya minum arak.
Jing Hao memandangi foto ibunya sembari berkata, “Ibu, aku
kangen sekali, ibu.” Sedihnya.
Rui En memanggil Jing Hao dan menyapanya, namun Jing Hao tidak
menyahut. Rui En kaget melihat wajah Jing Hao dan menanyakan, ada apa?
Rui En pergi ke ruang kesehatan untuk mengambilkan obat untuk
Jing Hao. Namun, ia urungkan niatnya. Ia teringat Jing Hao pernah mengobati
kakinya yang terluka, jadi anggap saja ini sebagai balas budi.
Di depan beranda tangga, Jing Hao dicegat oleh seorang gadis
yang memberikan kotak coklat sambil menyatakan cintanya. Semua yang melihatnya
menyuruh Jing Hao agar menerima pernyataan cinta gadis itu.
Dari atas, Rui En memerhatikannya. Ia pun mendengar kalau Jing Hao
menerima cinta gadis itu.
“Kau orang yang baik dan aku pun ingin berpacaran denganmu.
Tapi, aku bekerja setiap hari dari pukul empat pagi mengantar susu. Masih harus
mengajar karate. Malamnya berjualan baju di pasar malam. Aku sangat miskin.
Saking miskinnya aku sampai tidak bisa membelikan pacarku hadiah. Satu lagi.
Aku mempunyai seorang ayah yang tidak normal. Berpacaran denganku maka dia
harus bisa menjagakan ayahku. Terkadang ayahku masih pup di celana.”
“Kalau kau siap dengan semua ini, maka aku bersedia berpacaran
denganmu? Sekali lagi kutanyakan, apakah kau masih mau menjadi pacarku?”
Gadis itu tampak terdiam. “Aku tidak mau. Maaf.” Lari
meninggalkan Jing Hao. Wah, nih cewek keterlaluan.
Rui En menghampiri Jing Hao.
“Tadi itu kau keterlaluan”
“Keterlaluan apanya? Aku hanya mengatakan kenyataannya saja.”
Jing Hao tertawa.
“Apa ada yang lucu? Aku berkata serius.” Rui En tidak mengerti
kenapa Jing Hao tertawa.
“Harusnya aku berkata seperti apa?”
“Harusnya kau bisa mengatakan kau sudah punya pacar atau dia itu
bukan gadis tipemu. Tadi itu membuatnya sedih.”
“Memangnya aku suka mengatakannya di depan semua orang!” Jing
Hao meninggikan suaranya. “Apakah tadi itu lucu! Kau bertanya padaku kenapa aku
tertawa? Karena aku begitu menyedihkan. Tahukah kau!!”
Jing Hao pergi meninggalkan Rui En.
Photo&recap oleh Phoo Purarorora.Notes:
Endless
Love, kukira, hanya dengan membaca sekilas judulnya sih pikiranku
langsung teringat Endless Love dramanya Song Hye Kyo dan Song Seung
Hun. Karena kupikir awalnya serupa, jadi DVD-nya kuanggurin di tumpukan
koleksi dramaku yang lain. Berbulan-bulan nih drama kuacuhkan di kotak
DVD tanpa kusentuh sedikitpun. Hingga suatu hari, aku ngerasa bosan
dengan tontonan k-drama, dan ingin nonton sesuatu yang berbeda.
Kebetulan aku dipinjemin temanku, Nite, tw-drama Fated To You. Dilema
mau nonton Endless Love ato Fated To You, akhirnya kuputuskan untuk
nonton Endless Loe.
Ternyata
aku salah! Endless Love yang ini berbeda juga tak serupa dengan Endless
Love k-dama. Baru di menit pertama aku nonton, aku udah berteriak,
"KYAAAAAAA!!!"
Sukaaaaaaaaa.....
SUMBER : http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar