Recap: Endless Love Ep.3
Line 3
Jing Hao dilarikan ke rumah sakit.
Min Shuo menanyakan pada Rui En, apa yang terjadi? Rui En
berkata ia hanya menampar Jing Hao saja. Min Shuo tampak terkejut. Ia akan
memeriksa keadaan Jing Hao dan mengatakan pada Rui En.
Rui En terduduk lemas di bangku koridor rumah sakit. Ia berharap
sesuatu tidak terjadi pada Jing Hao.
Min SHuo telah selesai memeriksa keadaan Jing Hao, ia
pun melaporkan hasilnya ke Rui En. Hasil dari pemeriksaan, Jing Hao mengalami
pendaharan di otak, untuk mengetahui lebih lanjutya harus diperiksa lagi. Jika
dilihat dari lukanya, pasti bukan karena berkelahi, lebih tepatnya seperti
bertanding karate atau tinju.
Mendengar kata tinju, Rui En dapat bernapas lega. “Orang kuat
seperti dia, mana mungkin tumbang hanya karena kutampar.” Lega Rui En.
“Kak Min Shuo, aku dan dia tidak berpacaran. Aku tidak tahu apa
yang kau pikirkan. Tapi…” Rui En memotong kalimatnya dan berkata lain, “Aku
sudah menyerah terhadapmu. Dan benang merah sudah kuputuskan.” Lanjutnya seolah menggunting benang merah.
Min Shuo, eh kenapa tampak kecewa seperti itu mendengarnya.
Tanpa mereka sadari kalau Jing Hao sudah sadar dan menguping
pembicaraan tersebut.
Min Shuo menyuruh pada Rui En agar melihat keadaan Jing Hao. Min
Shuo pergi, Rui En memandangi Min SHuo dari belakang, dan Jing Hao berlalu.
Kemudian, Rui En berbalik, dan gantian Min Shuo yang berbalik memandangi Rui
En. Aah, seperti adegan-adegan di film-film aja.
Rui En berhasil menemukan Jing Hao. Tidak seharusnya Jing Hao
keluar. Jing Hao mesti dirawat di rumah sakit. “Ayo, aku antar pulang!”
Jing Hao menolak dan menukas Rui En agar jangan mengganggunya!
Apa dia memohon pada Rui En agar mengasihaninya? Apa dia dan ayahnya sangat
kasihan! Kenapa tidak memberikan uang tunai dan pergi saja. Oh, apa Rui En
ingin bersenang-senang dulu dengannya!?
Bukan seperti itu. Rui En berujar jujur. Sebenarnya, gara-gara
mengganti roknya, Jing Hao rela tidak membayar bibi pengasuh. Dan kebakaran itu
seharusnya tidak terjadi. Rui En hanya ingin bersikap tulus untuk kesalahannya.
“Aku minta maaf.”
Jing Hao menjawab, “Sebenarnya itu semua bukanlah kesalahanmu.
Aku pun juga bersalah. Aku minta maaf.” Jing Hao melunak sikapnya. “Jangan
merasa bersalah lagi.”
Mobil Min SHuo lewat dan melihat Jing Hao seolah hendak mencium
Rui En. Ekspresi wajahnya sih tampak KECEWA. Oke, jangan salahkan kalau Rui En
akhirnya menyukai dan mencintai Jing Hao.
Perlahan-lahan Jing Hao memasukkan kepalanya ke dalam jendela
mobil. Rui En tampak memejamkan kedua matanya. Kissing!
Tidak. Jing Hao ternyata hendak minta tisu yang terdapat di
dalam mobil.
“Kenapa kau memejamkan matamu?” goda Jing Hao.
“Ada
pasir masuk ke dalam mataku,” kelit Rui En.
Jing Hao tertawa. “Apa kau berpikir aku akan menciummu?”
Rui En tampak kikuk. Ia kemudian menyentuh pipi Jing Hao. Jing
Hao mendadak kikuk. Ternyata Rui En menaikkan kaca jendela hingga kepala Jing
Hao terjepit. Rui En terbahak-bahak.
“Turunkan kaca jendelanya!” pinta Jing Hao berteriak.
“Aku akan menurunkannya asal kau ikut denganku kembali ke rumah
sakit menjalani pemeriksaan.” Rui En memberikan syarat.
“Aku tidak mau!”
“Berarti negoisasi kita gagal. Ya sudah, aku pergi dulu.” Rui En
bersiap menjalankan mobilnya.
“Iya! Iya! Baiklah!” Jing Hao terpaksa setuju. Geli melihatnya.
Jing Hao diperiksa oleh dokter. Seorang perawat datang untuk
pengisian formulir, ia menanyakan apa hubungan Rui En dengan Jing Hao. Rui En
bingung mau menjawab apa.
“Teman.” Jing Hao menyahut.
Rui En menatap Jing Hao. Tersenyum kemudian dan mengisi
formulirnya. Jing Hao pun tertawa kecil.
Rui mengantarkan Jing Hao pulang ke rumah. Jing Hao berjanji
tidak akan bersikap jahat pada Rui En lagi. Rui En―entahlah―malah tertawa kaku begitu. Grogi
apa ya di dekat Jing Hao?
Jing Hao bertanya, “Aku harus memanggilmu apa?”
“Kau tahu namaku, kan?”
“Iya. Rui En.”
Rui En tertawa. Lalu ia memanggil Jing Hao dengan, “Kak Jing
Hao.” Jing Hao yang sedang minum sontak menyemburkan air minumnya. Kakak! Iya,
karena Jing Hao kan pernah mengatakan kalau ia
harusnya masuk dua tahun lebih dulu, berarti kan Jing Hao dua tahun di atas Rui En.
Rui En tidak melihat lampu merah di depannya dan mengerem
mendadak. Hingga Jing Hao terbentur dasbor. Rui En meminta maaf. Keduanya
tertawa bersamaan.
Rui En dan Jing Hao datang. Bibi pengasuh heran melihat Rui En
dan Jing Hao datang bersamaan. Apakah keduanya sudah berbaikan? Bibi pengasuh
tampak menggodai. Tuan Liang begitu senang melihat Rui En dan menanyakan,
apakah sudah makan apa belum? Rui En dengan merengek kalau ia belum makan
gara-gara Jing Hao. Tuan Liang lalu menyuruh Rui En untuk makan bersama
dengannya.
“Kau pasti tidak tahu kan?
Ayahmu sangat menyukai Nona Song,” bibi pengasuh memberitahukan.
Jing Hao tersenyum. Bibi pengasuh pamitan pulang.
Jing Hao melihat Rui En dan ayahnya sangat akrab. Ia tersenyum.
Rui En berpura-pura kesal pada Tuan Liang. “Paman, kau pasti
sudah makan kan?
Dan sekarang menipuku dengan mengatakan belum makan?”
“Aku belum makan.”
“Nasi ini untuk Kak Jing Hao saja.” Rui En merebut mangkok nasi
di depan Tuan Liang dan memberikannya untuk Jing Hao.
Jing Hao ikut duduk dan mengambil mangkok nasinya, namun Tuan
Liang merebutnya kembali. Rui En mengatakan agar Tuan Liang makannya dengan
pelan. “Tidak akan ada yang merebut makanan Paman.”
Jing Hao dan Rui En saling melempar tawa. Sweet!
Jing Hao mengantarkan Rui En ke mobil. Sebuah mobil melintas,
dan Jing Hao menarik Rui En, hingga Rui En terlempar ke dalam dekapannya.
Keduanya…
Saling kikuk satu sama lainnya…
Hayoooo, jantungnya siapa yang berdebar kencang duluan???
“Di tempat gelap seperti ini mukamu terlihat menakutkan,” ujar
Rui En memecah kekikukan.
“Wajahmu lebih cantik lagi kalau ditutup seperti ini,” balas
Jing Hao dengan menutup matanya dengan tangannya.
Rui En menyeberangi jalan untuk masuk ke dalam mobilnya. Jing
Hao memanggilnya. Rui En tersenyum, namun saat berbalik ia berpura-pura
memasang wajah cool.
“Hati-hati di jalan. Aku juga mau mengucapkan terima kasih untuk
hari ini.”
“Oh, sekarang kau sudah tahu berbalas budi. Tidak takut merasa
dikasihani lagi?” Rui En menyindir.
Jing Hao tidak marah. Senyum. Kan mereka berdua sudah berbaikan. Udah
temanan.
Tiba-tiba NoQ datang dan mengomel khawatir ke Jing Hao. Ia
melihat Rui En dan menunjuk, “Kau kan
gadis pemilik rok merah itu!”
Jing Hao menyuruh Rui En lekas pulang. Sementara itu, NoQ masih
terus mengomel mengikuti Jing Hao balik ke rumah.
“Jing Hao, aku dan Guang Chang (ternyata nama si pemilik gym itu
adalah Guang Chang) khawatir. Setelah bertanding tinju dan mengambil uangnya,
kau pergi begitu saja. Kita pikir kau mati di suatu tempat. Apa kau pergi
menemui wanita itu!”
Rui En mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh NoQ dan ia
seolah berpikir sesuatu.
NoQ beranggapan Jing Hao bertanding karena mengganti sesuatu
lagi. Kalau kemarin rok, sekarang apa lagi? Atau mungkin, semua uangnya
diberikan pada gadis itu? NoQ beranggapan lagi, kalau Jing Hao sudah tertipu
daya oleh gadis itu. Gadis itu sepertinya orang kaya, dan pastinya gadis itu
hanya menipu pria polos seperti Jing Hao ini.
Jing Hao mengusir NoQ keluar dari kamarnya. Ia merasa lelah dan
mengantuk, mau tidur.
“Jing Hao dengarkan aku, atau kau akan rugi nantinya,” ancam
NoQ.
Jing Hao menutup pintu kamarnya. Bersandar di daun pintu sembari
tersenyum.
Rui En di dalam kamarnya teringat kejadian ia terlempar ke dalam
dekapan Jing Hao dan saat Jing Hao seolah hendak menciumnya. Jantungnya
tiba-tiba berdegup kencang. Rui En memerintah jantungnya agar tidak berdegup
kencang seperti ini. Lalu kemudian, ia tersenyum membiarkan debaran jantungnya
berdebar makin kencang. Yeay, Rui En tanda-tanda jatuh cinta!
Pameran lukis Rui En berakhir. Asistennya memberikan amplop
berisi uang ke Rui En. Uang itu adalah uang yang kemarin malam berhamburan di
lantai galeri. Rui En berencana menemui Jing Hao. Tapi pas di tengah jalan
mobilnya dihadang oleh seseorang yang nekat hendak bunuh diri. Eh, salah… NoQ
nekat menghadang mobil Rui En yang tengah melaju.
NoQ menodong Rui En dengan pertanyaan, “Apa kau menerima uang
yang diberikan oleh Jing Hao!”
Rui En tentu saja menjawab, iya. NoQ makin kesal pada Rui En,
mana boleh Rui En mengambil uangnya begitu saja. Kemarin itu 25.000 sekarang
100.000, besok berapa? “Heh, jangan mentang-mentang Jing Hao itu polos jadi kau
menipunya. Dia belum pernah berpacaran dan tidak ada teman wanita. Jangan
mendekatinya!”
Rui En berusaha untuk menjelaskan kesalah pahaman ini, namun NoQ
tidak memberikan kesempatan. NoQ pergi dengan kesal.
Di pasar malam, NoQ melirik-lirik pandang ke Jing Hao. Jing Hao
heran dan bertanya, kenapa? Sulit dipercaya kalau ternyata Rui En sama sekali
tidak mengadu dan menutup mulutnya rapat mengenai pelabrakan yang dilakukannya
tadi.
Rui En memandangi uang 100.00 milik Jing Hao. Ingin dikembalikan
tapi rasanya sulit sekali. Tuan Song datang dan menanyakan mengenai
pertunangannya dengan Min Shuo. Ah iya, Rui En lupa! Ia segera hendak
membatalkan pertunangan itu, namun tertunda karena ayahnya mendapatkan telpon.
Rui En menyapa Jing Hao di pagi yang cerah.
Rui En memberikan lukisannya kepada Jing Hao. Jing Hao meskipun
ia tidak mengerti mengenai lukisan, tapi ia menyukainya.
Rui En menyindir Jing Hao dengan mengatakan ia harus memberikan
lukisan itu ketimbang Jing Hao beranggapan sedang dikasihani lagi. Sebenarnya
harga jual lukisan itu bukanlah 100.000. Saat ia menanyakannya pada asistennya,
harga 20.000 sudah cukup pantas. Untuk itu, Rui En mengembalikan sisa uangnya
sebanyak 80.000 ke Jing Hao.
Jing Hao menolak. Anggap saja ia memang ingin memboroskan uang
100.000 untuk sebuah lukisan. Rui En tidak mau menerimanya, ia malah hendak
menghamburkan uang ditangannya seperti yang dilakukan Jing Hao. Jing Hao
menahannya, “Kalau begitu traktir aku makan saja.” Melangkah lebih dulu.
Gila apa! Mentraktir makan dengan uang 80.000, waduh berapa
lama?
Jing Hao memilih untuk ditraktir di kantin kampus. Kupon sekali
makan seharga NT 100. Jika sisa uangnya 80.000, waduh berapa kali
traktirannya!?
Aah, Rui En mengerti, pasti ini hanya akal-akalan Jing Hao saja
agar bisa makan siang bersama Rui En kan?
Jing Hao, ya tentu saja membantah, meskipun sih pada kenyataannya iya.
“Mana mau aku menempel di dekatmu terus.”
“Pria polos sepertimu mana punya teman wanita,” sindir Rui En.
“Darimana kau mendengarnya?” Jing Hao tampak gelandapan.
Tiba-tiba suara mahasiswi menyeletuk keduanya. Ternyata tanpa
mereka sadari kalau mereka ini menghambat pengantri di belakang yang hendak
makan. Bahkan panjang antriannya sepuluh meter.
Hahahah,,,
Lukisannya langsung dipajang Jing Hao di dalam kamarnya.
Memandangi dengan tersenyum.
Jing Hao mendapatkan SMS dari Rui En yang akan mentraktirnya
besok makan siang. Jing Hao girang. Tuan Liang yang mengetahuinya lantas
membantu Jing Hao memilihkan baju yang bagus untuk dipakai putranya besok.
Menemui wanita cantik, si pria pun harus tampil ganteng.
Besoknya, Rui En tertawa geli di dalam mobilnya melihat Jing Hao
berdandan. Rui En memuji Jing Hao yang tampil ganteng siang ini. Tawa Rui En
menakutkan…
Jing Hao berkata, “Mentraktirnya makan tidak perlu di restoran
mahal.”
Rui En masih tertawa setan. “Kau duduk manis dan ikuti saja
aku.” Masih dengan tawa setannya.
Teeeeereeeeng!
Jing Hao ternyata dibawa Rui En―yang mendapat
telpon dari rumah sakit―untuk menjalani pemeriksaan lagi.
Jing Hao tidak mau. Ia sudah sembuh. Rui En bersikeras untuk
menyuruh Jing Hao bertemu dengan dokter.
“Liang Jing Hao,” panggil Rui En.
Baiklah, kalau Jing Hao tidak menurut. Rui En punya cara lain.
Ia mengeluarkan uang sisa lukisan, mengipas-ngipaskan uang itu di muka Jing
Hao, menghitung sampai tiga, dan sedetik mau dihamburkannya, Jing Hao menangkap
tangan Rui En.
Tepat di saat itu pulalah, Min Shuo datang dan melihat adegan
tersebut. Asyik!
Min Shuo menyapa mereka. Rui En lekas memasukkan uangnya ke
dalam tas. Jing Hao malah menarik tangan Rui En dan menggenggamnya erat. Rui En
berontak minta dilepaskan, namun Jing Hao makin menggenggamnya erat. Jing Hao
pun menyapa Min Shuo. Oke, wajah Min SHuo mulai tidak menyukai Jing Hao. Min
SHuo tahu kedatangan Jing Hao untuk menjalani pemeriksaan lagi, dan ia menyuruh
agar pemeriksaan dilakukan sekarang.
Min Shuo berjalan lebih dahulu. Rui dan Jing Hao ribut kecil di
belakang. Jing Hao mengatakan kalau tadi itu ia membantu Rui En. “Bukankah kau
bilang sudah memutuskan benang merahnya?”
“Darimana kau dengar?” bingung Rui En.
Min SHuo menegur Jing Hao dan Rui En yang masih berdiri diam di
tempatnya. Jing Hao menyeret pergelangan tangan Rui En. Rui En meskipun ogah,
tapi ia tetap diseret paksa oleh Jing Hao.
Usai pemeriksaan, mereka bertiga ngopi-ngopi lah istilahnya. Min
Shuo menjelaskan ke Jing Hao, kalau darahnya tidak keluar lagi maka sudah
dinyatakan sembuh, juga harus menjaga makanannya. Min Shuo pun berkata jika ia
sudah mengetahui kebenarannya, Jing Hao dan Rui En tidak berpacaran. Rui En
menegaskan ke Min Shuo agar jangan memanggilnya gadis kecil, panggil namanya.
Min Shuo diam, lalu tersenyum. Wajah Min Shuo, ah… wajah-wajah orang cemburu
gitu…
Jing Hao beranjak dari duduknya untuk mengambil minuman. Ia
berpapasan dengan Tuan Song. Kebetulan saat itu, Tuan Song sedang membicarakan
masalah bisnis dengan temannya. Tuan Song berencana menginvestasikan uangnya
untuk pembangunan rumah sakit, untuk itu ia bekerjasama dengan sebuah fakultas
kedokteran.
Tuan Song melihat putrinya sedang bersama Min SHuo. Teman Tuan
Song hendak menyapa Min SHuo, namun ditahan oleh Tuan Song. Masa iya sih mau
mengganggu pacaran anaknya. Biarkan saja mereka. Tuan Song dan temannya
memutuskan untuk pergi. Kembali lagi Tuan Song berpapasan dengan Jing Hao yang
tengah membawa nampan minuman.
Jing Hao membagi-bagikan cangkir coffe-nya.
“Kak, tolong ambilkan gula untukku,” pinta Rui En.
Jing Hao dan Min Shuo bersamaan mengambilkan gula unuk Rui En.
Rui En yang tersadar cepat meluruskan kalau Jing Hao ini lebih tua dua tahun
darinya.
“Mendengarmu memanggil orang lain dengan panggilan kakak,
rasanya agak aneh,” kata Min SHuo―kecewa,
setidaknya.
Dalam perjalanan pulang, Rui En membahas mengenai benang merah.
Darimana Jing Hao mendengarnya? Apa malam itu Jing mencuri dengar? Jing Hao
beralasan kalau ia tidak mencuri dengar, hanya kebetulan saja. Itu sama saja!
Rui En kesal karena setiap kali patah hati pasti ketahuan oleh Jing Hao.
“Semenjak ibuku meninggal, sejak itu aku menyukai kak Min Shuo. Lima belas tahun cintaku
bertepuk sebelah tangan.” Rui En curcol.
Jing Hao terkejut mendengar ibunya Rui En juga sudah meninggal.
Jing Hao menyuruh Rui En agar berhenti di jewelry
shop.
Jing Hao memesan sebuah cincin yang sama yang dipakai oleh
ayahnya. Ia memperlihatkan contoh cincinnya yang disimpannya dalam hape. Ia
akan mengambilnya minggu depan.
Rui En memastikan kalau cincin itu bukannya yang dikalung Paman
Liang? Jing Hao menjawab iya. Sebenarnya itu cincin pasangan. Milik ibunya
hilang dan ia akan membuatkan cincin yang mirip itu untuk diberikan di saat
hari sembahyang ibunya minggu depan.
“Apa tanggal 9 bulan 10?” Rui En bertanya. Jing Hao mengangguk
membenarkan.
Rui En mengatakan kalau di tanggal itu adalah hari kematian
ibunya juga. Ternyata hari kematian ibu mereka berdua sama. Ini seperti jodoh.
Keduanya tertawa tidak menyangka, lalu sedikit bersikap kaku. Hahaha,,,
Jing Hao melamun. Sedang, NoQ sibuk berjualan. NoQ mengagetkan
Jing Hao yang tengah melamun. Hayoooo, pasti sedang memikirkan gadis itu kan? Jing Hao mengelak,
bukan. Sebuah telpon masuk ke hape Jing Hao. Jing Hao tampak kecewa karena itu
bukan telpon yang ditunggunya. NoQ pun seolah dapat membaca gurat kecewa Jing
Hao.
Bibi pengasuh menelpon dan minta pulang cepat karena anaknya
sedang sakit. Jing Hao mengijinkan. Ia lantas pamitan pada NoQ. NoQ siap
berjualan lagi, sial! Akhir-akhir ini polisi lebih rajin razia. Pasar malam
bubar.
Jing Hao masuk ke gang. Ia teringat awal pertemuannya dengan Rui
En. Benang merah. Melamun. Lamunannya terputus ketika bunyi peluit dari polisi
menghadangnya. Jing Hao tertangkap.
Di kantor polisi. Jing Hao menelpon NoQ dan minta tolong agar
menjagakan ayahnya. NoQ menolak, ia tidak bia. Tidak bisa kenapa?
NoQ menepuk pundak Jing Hao dan… mereka berdua sama-sama berada
di kantor polisi! Keduanya sama-sama mendesah berat. Wkakakakak!
Terpaksa deh Jing Hao menelpon Rui En dan meminta tolong padanya
agar mau ke rumahnya sekarang.
“Sekarang?” heran dan bingung Rui En.
Rui En memanggil ayahnya untuk pamitan keluar, namun ayahnya
tidak ada di dalam kamarnya. Rui En melihat tanggal 9 di dalam kalender di
lingkari. Ia menyakinkan jika ayahnya sekarang ini sedang minum di luar. Ia
bersyukur memiliki ayah yang begitu mencitai ibunya.
Jing Hao dan NoQ dibebaskan karena mereka baru pertama kalinya
melakukan pelanggaran. Jika melanggar lagi maka keduanya akan mendapatkan
denda. Jing Hao mengangguk mengerti. Ia pamitan terlebih dahulu untuk pulang.
Jing Hao berlari menuju ke rumahnya. Hal
pertama yang dilakukannya adalah melihat
ayahnya. Ayahnya masih tidur di dalam kamar. Lalu, ia beralih ke kamarnya.
Jing Hao tersenyum melihat Rui En tertidur di meja belajarnya.
Jing Hao duduk berjongkok di depan Rui En sambil memandangi wajah Rui En.
Selama ini aku tidak percaya
dengan nasib. Aku mengira benang merah yang menyatukan dua orang menjadi satu
tidak ada. Tapi sekarang aku memohon pada Tuhan agar menyatukan aku denganmu.
Biarkan kau menjadi takdirku. Biarkan benang merah diantara kau dan aku
menyatu.
Rui En terbangun. Tersenyum melihat Jing Hao. “Sudah pulang?”
“Aku pulang.” Jing Hao menjawab dengan senyum.
Jing Hao mengucapkan sangat terima kasih atas bantuan Rui En.
Hmm, masa sih hanya ucapan terima kasih. Rui En pengennya yang lain. Rui En
minta terima kasihnya dibalas dengan tubuh Jing Hao. Jing Hao lekas-lekas
merapatkan kemejanya. Bingung.
Di kelas melukis, Rui En sibuk cekikikan ketawa sendiri. Xiu
Zhen curiga dan menanyakan apa ada yang lucu? Rui En mengatakan tidak apa-apa.
Masih dengan cekikikan ketawa.
Jing Hao masuk bersama dengan guru lukis mereka. Ternyata Jing
Hao dijadikan model lukis mereka. Parahnya lagi modelnya harus bertelanjang
dada. Jing Hao yang tidak mengetahuinya lantas hanya bengong ke arah Rui En,
dan Rui En malah sibuk dengan cekikikan ketawanya. Teman-teman Rui En SENANG
banget karena modelnya adalah Jing Hao.
Usai kelas dan menjadi model, teman-teman Rui En mengajakin Jing
Hao makan. Rui En memilih untuk duduk terpisah. Xiu Zhen dengan pede mengatakan
kalau ia menyukai Jing Hao. Jing Hao sampai tersedak mendengarnya.
Jing Hao jengah. Sebal! Menatap Rui En kesal.
Rui En kesel. Cemburu nih kayaknya.
Min SHuo melihat ibunya berdandan. Mau kemana? Nyonya Luo
mengatakan ia diajak Tuan Song untuk pergi makan malam, katanya mau
membicarakan sesuatu yang sangat penting. Min SHuo dapat menebak pasti akan
membahas mengenai masalah pertunangan.
Rui En mengomel-ngomel sendiri tidak keruan. Jing Hao
mengejarnya dan menjejerinya. Rui En menyindir Jing Hao yang sepertinya tadi
begitu menikmati dikerumbuni oleh cewek-cewek.
Yeah, Jing Hao malah membalasnya dengan mengatakan, “Harusnya
dari dulu aku menjadi model. Hanya dua jam saja aku sudah mendapatkan uang. Ini
lebih gampang daripada mengantar susu.”
“Kalau kau membuka lebih, pasti uang yang dihasilkan lebih
banyak.” Kesal Rui En.
Jing Hao memerhatikan Rui En dengan senyum. Bahkan Rui En
menanyakan kenapa Jing Hao memerhatikannya begitu?
Aaah, tidak! Kalo aku diperhatikan Jing Hao seperti itu,
aaaaahh, tidak! Meleleh…
Rui En mendapatkan telpon dari Min SHuo. Senyum Jing Hao
perlahan memudar. Cemburu, tapi ia tidak punya hak, toh Rui En bukan
siapa-siapanya.
Min Shuo memberitahukan kalau ayahnya Rui En dan ibunya akan
bertemu untuk membicarakan masalah yang penting. Min SHuo segera menuju ke
restoran tempat pertemuannya. Rui En lupa untuk memberitahukan masalah
pembatalan pertunangan ini. Ia minta diberitahukan dimana restorannya.
Jing Hao yang mendengarnya menawarkan diri untuk mengantarkan
Rui En ke restoran tersebut. Naik motor jauh lebih cepat dari mobil. Rui En
setuju. Rui En berpegangan erat di pinggang Jing Hao, karena motornya melaju
kencang.
Mobil Min Shuo berhenti di depan traffic light. Motor Jing Hao yang sedang membonceng Rui En
melintas di depannya. Min Shuo menatapnya dengan CEMBURU!
Rui En berlari masuk ke dalam restoran, meninggalkan Jing Hao di
motor. Mobil Min SHuo datang. Ia mengatakan pada Jing Hao kalau mereka berdua
akhir-akhir ini sangat berjodoh karena sering bertemu.
“Bagaimana dengan kepalamu?”
Jing Hao mengatakan kepalanya baik-aik saja. Min SHuo seolah
memanasi Jing Hao. Di atas sedang ada pertemuan antara ibunya dan ayahnya Rui
En. Mereka pasti akan membahas mengenai pertunangan, karena ayahnya Rui En
ingin menikahkan mereka (Min SHuo dan Rui En). Untuk itu, Jing Hao jangan
terlalu memusingkan masalah ini.
Rui En menerobos masuk. Ia mengatakan kalau ia tidak bisa
bertunangan dengan Min SHuo. Ayah dan Nyonya Luo jelas kaget mendengarnya.
Nyonya Luo syok, “Apakah Min SHuo tidak menyukaimu?!”
“Bukan. Karena aku menyukai orang lain,” jujur atau hanya alasan
Rui En. Tuan Song jelas marah. Jelas-jelas Rui En menyukai Min Shuo.
Jing Hao menahan Min SHuo yang hendak masuk ke dalam lift.
“Jangan salahkan aku jika nantinya Rui En jatuh cinta padaku.”
“Jantungku berdebar kencang bukan dikarenakan oleh Kak Min Shuo.
Tapi karena orang itulah jantungku berdebar kencang.” Rui En memegangi dadanya.
Sementara itu…
“Aku, Liang Jing Hao sangat menyukai Song Rui En.” Jing Hao
menegaskan perasaannya di hadapan Min Shuo.
Jing Hao mengambil cincin pesanannya. Ia tersenyum senang
melihatnya.
Sesampainya di rumah, Jing Hao terkejut mendapati bibi pengasuh
yang tampak panik. Tuan Liang mabuk dengan minum arak untuk upacara sembahyang.
Tuan Liang merengek mencari dimana Zhi Shu berada…
Jing Hao menyuruh bibi pengasuh agar pulang dan tidak bekerja di
hari ini.
Jing Hao masuk ke dalam rumah. Menghampiri ayahnya di meja makan
dengan berhati-hati. Tangannya hendak memegang lengan ayahnya dengan bergetar.
Tuan Liang menatap Jing Hao dengan tatapan penuh kebencian. Tuan Liang menampar
pipi Jing Hao berulang kali. Memukulinya. Bahkan mendorong tubuh Jing Hao ke
dinding.
“Kau mencelakai Zhi Shu! Kau membunuhnya! Aku membencimu.
Kembalikan nyawa Zhi Shu. Kalau tidak pergi mati saja!” geram Tuan Liang.
Jing Hao teringat. Sejak ibunya meninggal, ayahnya sering
memukulinya. Ayahnya selalu menyalahkannya atas kematian sang ibu.
Jing Hao menangis! Sedih…
Jing Hao pergi ke lokasi kecelakaan ibunya. Saat itu, Jing Hao
kecil tengah menyeberang jalan dan tidak melihat ada mobil melintas. Ibunya
mendorong tubuh Jing Hao dan membiarkan tubuhnya yang tersambar mobil. Ibunya
meninggal seketika.
Jing Hao yang sedih lantas menelpon Rui En. Sejujurnya, ia
menelpon Rui En hanya ingin mendengarkan suara Rui En saja. Jing Hao menanyakan
bagaimana sembahyangnya? Rui En menjawab lancar.
“Pasti kau sangat merindukan ibumu?” kata Rui En. “Rindu adalah
hal yang wajar. Aku pun juga sering merindukan ibu.”
“Ya, aku sangat merindukannya.” Lalu Jing Hao menjawab di dalam
hatinya yang ditujukannya untuk Rui En, aku
merindukanmu. Sangat merindukanmu. “Aku merasa di saat-saat seperti ini
hanya kaulah yang bisa memahami perasaanku.”
Tiba-tiba jantung Rui En berdebar kencang. Ia lekas-lekas
memutuskan telponnya dengan beralasan masih sibuk.
Di tempat itu sebuah mobil berhenti. Tuan Song! Tuan Song
teringat sebuah kecelakaan. Di tempat ini Tuan Song pernah menabrak seorang
wanita, hingga wanita itu meninggal. Dan ternyata wanita yang ditabraknya itu
tidak lain adalah ibunya Jing Hao.
Rui En di kamarnya yang tengah memegangi foto ibunya lantas
mengomel-ngomel pada jantungnya.
“Jantung Song Rui En! Kenapa kau berdebar kencang?” lalu Rui En
tersenyum khas orang kasmaran.
Tuan Song menjalankan mobilnya untuk meninggalkan jalan itu.
Begitu pula dengan Jing Hao yang pergi meninggalkan jalan itu.
Episode Selanjutnya...
Photo&recap oleh Phoo Purarora.
Notes:
Waaaaaah,
makin seru nih ceritanya. Ternyata yang menabrak ibunya Jing Hao adalah
Tuan Song, yang tak lain adalah ayahnya Rui En. Apa jadinya nih kalo
sampai Jing Hao mengetahui kenyataannya, ayah dari wanita yang
dicintainya adalah orang yang telah menabrak ibunya. Jing Hao tetap
meneruskan cintanya, atau putus?
Kalo
diperhatikan sih Min Shuo mulai cemburu melihat Rui En dan Jing Hao.
Pasti kisah cinta Jing Hao dan Rui En gak semulus itu... Seru!
Satu
lagi yang membuatku suka sama Jing Hao. Meskipun ayahnya Jing Hao
selalu menyalahkannya atas kematian ibunya, terus memukulinya, tapi Jing
Hao tetap menyayangi ayahnya. Karena, hanya ayahnya-lah satu-satunya
keluarganya. Manis banget...
SUMBER : http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep3.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar