Hanya Manusia biasa yang tak sempurna,suka menulis tentang kehidupan sehari hari~

Kamis, 05 Mei 2016

Endless Love CTS (Taiwan Drama) : Episode 3

Recap: Endless Love Ep.3

 
Line 3
Jing Hao dilarikan ke rumah sakit.
Min Shuo menanyakan pada Rui En, apa yang terjadi? Rui En berkata ia hanya menampar Jing Hao saja. Min Shuo tampak terkejut. Ia akan memeriksa keadaan Jing Hao dan mengatakan pada Rui En.
Rui En terduduk lemas di bangku koridor rumah sakit. Ia berharap sesuatu tidak terjadi pada Jing Hao.
Min SHuo telah selesai memeriksa keadaan Jing Hao, ia pun melaporkan hasilnya ke Rui En. Hasil dari pemeriksaan, Jing Hao mengalami pendaharan di otak, untuk mengetahui lebih lanjutya harus diperiksa lagi. Jika dilihat dari lukanya, pasti bukan karena berkelahi, lebih tepatnya seperti bertanding karate atau tinju.
Mendengar kata tinju, Rui En dapat bernapas lega. “Orang kuat seperti dia, mana mungkin tumbang hanya karena kutampar.” Lega Rui En.
“Kak Min Shuo, aku dan dia tidak berpacaran. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan. Tapi…” Rui En memotong kalimatnya dan berkata lain, “Aku sudah menyerah terhadapmu. Dan benang merah sudah kuputuskan.”  Lanjutnya seolah menggunting benang merah.
Min Shuo, eh kenapa tampak kecewa seperti itu mendengarnya.
Tanpa mereka sadari kalau Jing Hao sudah sadar dan menguping pembicaraan tersebut.
Min Shuo menyuruh pada Rui En agar melihat keadaan Jing Hao. Min Shuo pergi, Rui En memandangi Min SHuo dari belakang, dan Jing Hao berlalu. Kemudian, Rui En berbalik, dan gantian Min Shuo yang berbalik memandangi Rui En. Aah, seperti adegan-adegan di film-film aja.
Rui En berhasil menemukan Jing Hao. Tidak seharusnya Jing Hao keluar. Jing Hao mesti dirawat di rumah sakit. “Ayo, aku antar pulang!”
Jing Hao menolak dan menukas Rui En agar jangan mengganggunya! Apa dia memohon pada Rui En agar mengasihaninya? Apa dia dan ayahnya sangat kasihan! Kenapa tidak memberikan uang tunai dan pergi saja. Oh, apa Rui En ingin bersenang-senang dulu dengannya!?
Bukan seperti itu. Rui En berujar jujur. Sebenarnya, gara-gara mengganti roknya, Jing Hao rela tidak membayar bibi pengasuh. Dan kebakaran itu seharusnya tidak terjadi. Rui En hanya ingin bersikap tulus untuk kesalahannya. “Aku minta maaf.”
Jing Hao menjawab, “Sebenarnya itu semua bukanlah kesalahanmu. Aku pun juga bersalah. Aku minta maaf.” Jing Hao melunak sikapnya. “Jangan merasa bersalah lagi.”
Mobil Min SHuo lewat dan melihat Jing Hao seolah hendak mencium Rui En. Ekspresi wajahnya sih tampak KECEWA. Oke, jangan salahkan kalau Rui En akhirnya menyukai dan mencintai Jing Hao.
Perlahan-lahan Jing Hao memasukkan kepalanya ke dalam jendela mobil. Rui En tampak memejamkan kedua matanya. Kissing!
Tidak. Jing Hao ternyata hendak minta tisu yang terdapat di dalam mobil.
“Kenapa kau memejamkan matamu?” goda Jing Hao.
“Ada pasir masuk ke dalam mataku,” kelit Rui En.
Jing Hao tertawa. “Apa kau berpikir aku akan menciummu?”
Rui En tampak kikuk. Ia kemudian menyentuh pipi Jing Hao. Jing Hao mendadak kikuk. Ternyata Rui En menaikkan kaca jendela hingga kepala Jing Hao terjepit. Rui En terbahak-bahak.
“Turunkan kaca jendelanya!” pinta Jing Hao berteriak.
“Aku akan menurunkannya asal kau ikut denganku kembali ke rumah sakit menjalani pemeriksaan.” Rui En memberikan syarat.
“Aku tidak mau!”
“Berarti negoisasi kita gagal. Ya sudah, aku pergi dulu.” Rui En bersiap menjalankan mobilnya.
“Iya! Iya! Baiklah!” Jing Hao terpaksa setuju. Geli melihatnya.
Jing Hao diperiksa oleh dokter. Seorang perawat datang untuk pengisian formulir, ia menanyakan apa hubungan Rui En dengan Jing Hao. Rui En bingung mau menjawab apa.
“Teman.” Jing Hao menyahut.
Rui En menatap Jing Hao. Tersenyum kemudian dan mengisi formulirnya. Jing Hao pun tertawa kecil.
Rui mengantarkan Jing Hao pulang ke rumah. Jing Hao berjanji tidak akan bersikap jahat pada Rui En lagi. Rui Enentahlahmalah tertawa kaku begitu. Grogi apa ya di dekat Jing Hao?
Jing Hao bertanya, “Aku harus memanggilmu apa?”
“Kau tahu namaku, kan?”
“Iya. Rui En.”
Rui En tertawa. Lalu ia memanggil Jing Hao dengan, “Kak Jing Hao.” Jing Hao yang sedang minum sontak menyemburkan air minumnya. Kakak! Iya, karena Jing Hao kan pernah mengatakan kalau ia harusnya masuk dua tahun lebih dulu, berarti kan Jing Hao dua tahun di atas Rui En.
Rui En tidak melihat lampu merah di depannya dan mengerem mendadak. Hingga Jing Hao terbentur dasbor. Rui En meminta maaf. Keduanya tertawa bersamaan.
Rui En dan Jing Hao datang. Bibi pengasuh heran melihat Rui En dan Jing Hao datang bersamaan. Apakah keduanya sudah berbaikan? Bibi pengasuh tampak menggodai. Tuan Liang begitu senang melihat Rui En dan menanyakan, apakah sudah makan apa belum? Rui En dengan merengek kalau ia belum makan gara-gara Jing Hao. Tuan Liang lalu menyuruh Rui En untuk makan bersama dengannya.
“Kau pasti tidak tahu kan? Ayahmu sangat menyukai Nona Song,” bibi pengasuh memberitahukan.
Jing Hao tersenyum. Bibi pengasuh pamitan pulang.
Jing Hao melihat Rui En dan ayahnya sangat akrab. Ia tersenyum.
Rui En berpura-pura kesal pada Tuan Liang. “Paman, kau pasti sudah makan kan? Dan sekarang menipuku dengan mengatakan belum makan?”
“Aku belum makan.”
“Nasi ini untuk Kak Jing Hao saja.” Rui En merebut mangkok nasi di depan Tuan Liang dan memberikannya untuk Jing Hao.
Jing Hao ikut duduk dan mengambil mangkok nasinya, namun Tuan Liang merebutnya kembali. Rui En mengatakan agar Tuan Liang makannya dengan pelan. “Tidak akan ada yang merebut makanan Paman.”
Jing Hao dan Rui En saling melempar tawa. Sweet!
Jing Hao mengantarkan Rui En ke mobil. Sebuah mobil melintas, dan Jing Hao menarik Rui En, hingga Rui En terlempar ke dalam dekapannya.
Keduanya…
Saling kikuk satu sama lainnya…
Hayoooo, jantungnya siapa yang berdebar kencang duluan???
“Di tempat gelap seperti ini mukamu terlihat menakutkan,” ujar Rui En memecah kekikukan.
“Wajahmu lebih cantik lagi kalau ditutup seperti ini,” balas Jing Hao dengan menutup matanya dengan tangannya.
Rui En menyeberangi jalan untuk masuk ke dalam mobilnya. Jing Hao memanggilnya. Rui En tersenyum, namun saat berbalik ia berpura-pura memasang wajah cool.
“Hati-hati di jalan. Aku juga mau mengucapkan terima kasih untuk hari ini.”
“Oh, sekarang kau sudah tahu berbalas budi. Tidak takut merasa dikasihani lagi?” Rui En menyindir.
Jing Hao tidak marah. Senyum. Kan mereka berdua sudah berbaikan. Udah temanan.
Tiba-tiba NoQ datang dan mengomel khawatir ke Jing Hao. Ia melihat Rui En dan menunjuk, “Kau kan gadis pemilik rok merah itu!”
Jing Hao menyuruh Rui En lekas pulang. Sementara itu, NoQ masih terus mengomel mengikuti Jing Hao balik ke rumah.
“Jing Hao, aku dan Guang Chang (ternyata nama si pemilik gym itu adalah Guang Chang) khawatir. Setelah bertanding tinju dan mengambil uangnya, kau pergi begitu saja. Kita pikir kau mati di suatu tempat. Apa kau pergi menemui wanita itu!”
Rui En mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh NoQ dan ia seolah berpikir sesuatu.
NoQ beranggapan Jing Hao bertanding karena mengganti sesuatu lagi. Kalau kemarin rok, sekarang apa lagi? Atau mungkin, semua uangnya diberikan pada gadis itu? NoQ beranggapan lagi, kalau Jing Hao sudah tertipu daya oleh gadis itu. Gadis itu sepertinya orang kaya, dan pastinya gadis itu hanya menipu pria polos seperti Jing Hao ini.
Jing Hao mengusir NoQ keluar dari kamarnya. Ia merasa lelah dan mengantuk, mau tidur.
“Jing Hao dengarkan aku, atau kau akan rugi nantinya,” ancam NoQ.
Jing Hao menutup pintu kamarnya. Bersandar di daun pintu sembari tersenyum.
Rui En di dalam kamarnya teringat kejadian ia terlempar ke dalam dekapan Jing Hao dan saat Jing Hao seolah hendak menciumnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Rui En memerintah jantungnya agar tidak berdegup kencang seperti ini. Lalu kemudian, ia tersenyum membiarkan debaran jantungnya berdebar makin kencang. Yeay, Rui En tanda-tanda jatuh cinta!
Pameran lukis Rui En berakhir. Asistennya memberikan amplop berisi uang ke Rui En. Uang itu adalah uang yang kemarin malam berhamburan di lantai galeri. Rui En berencana menemui Jing Hao. Tapi pas di tengah jalan mobilnya dihadang oleh seseorang yang nekat hendak bunuh diri. Eh, salah… NoQ nekat menghadang mobil Rui En yang tengah melaju.
NoQ menodong Rui En dengan pertanyaan, “Apa kau menerima uang yang diberikan oleh Jing Hao!”
Rui En tentu saja menjawab, iya. NoQ makin kesal pada Rui En, mana boleh Rui En mengambil uangnya begitu saja. Kemarin itu 25.000 sekarang 100.000, besok berapa? “Heh, jangan mentang-mentang Jing Hao itu polos jadi kau menipunya. Dia belum pernah berpacaran dan tidak ada teman wanita. Jangan mendekatinya!”
Rui En berusaha untuk menjelaskan kesalah pahaman ini, namun NoQ tidak memberikan kesempatan. NoQ pergi dengan kesal.
Di pasar malam, NoQ melirik-lirik pandang ke Jing Hao. Jing Hao heran dan bertanya, kenapa? Sulit dipercaya kalau ternyata Rui En sama sekali tidak mengadu dan menutup mulutnya rapat mengenai pelabrakan yang dilakukannya tadi.
Rui En memandangi uang 100.00 milik Jing Hao. Ingin dikembalikan tapi rasanya sulit sekali. Tuan Song datang dan menanyakan mengenai pertunangannya dengan Min Shuo. Ah iya, Rui En lupa! Ia segera hendak membatalkan pertunangan itu, namun tertunda karena ayahnya mendapatkan telpon.
Rui En menyapa Jing Hao di pagi yang cerah.
Rui En memberikan lukisannya kepada Jing Hao. Jing Hao meskipun ia tidak mengerti mengenai lukisan, tapi ia menyukainya.
Rui En menyindir Jing Hao dengan mengatakan ia harus memberikan lukisan itu ketimbang Jing Hao beranggapan sedang dikasihani lagi. Sebenarnya harga jual lukisan itu bukanlah 100.000. Saat ia menanyakannya pada asistennya, harga 20.000 sudah cukup pantas. Untuk itu, Rui En mengembalikan sisa uangnya sebanyak 80.000 ke Jing Hao.
Jing Hao menolak. Anggap saja ia memang ingin memboroskan uang 100.000 untuk sebuah lukisan. Rui En tidak mau menerimanya, ia malah hendak menghamburkan uang ditangannya seperti yang dilakukan Jing Hao. Jing Hao menahannya, “Kalau begitu traktir aku makan saja.” Melangkah lebih dulu.
Gila apa! Mentraktir makan dengan uang 80.000, waduh berapa lama?
Jing Hao memilih untuk ditraktir di kantin kampus. Kupon sekali makan seharga NT 100. Jika sisa uangnya 80.000, waduh berapa kali traktirannya!?
Aah, Rui En mengerti, pasti ini hanya akal-akalan Jing Hao saja agar bisa makan siang bersama Rui En kan? Jing Hao, ya tentu saja membantah, meskipun sih pada kenyataannya iya.
“Mana mau aku menempel di dekatmu terus.”
“Pria polos sepertimu mana punya teman wanita,” sindir Rui En.
“Darimana kau mendengarnya?” Jing Hao tampak gelandapan.
Tiba-tiba suara mahasiswi menyeletuk keduanya. Ternyata tanpa mereka sadari kalau mereka ini menghambat pengantri di belakang yang hendak makan. Bahkan panjang antriannya sepuluh meter.
Hahahah,,,
Lukisannya langsung dipajang Jing Hao di dalam kamarnya. Memandangi dengan tersenyum.
Jing Hao mendapatkan SMS dari Rui En yang akan mentraktirnya besok makan siang. Jing Hao girang. Tuan Liang yang mengetahuinya lantas membantu Jing Hao memilihkan baju yang bagus untuk dipakai putranya besok. Menemui wanita cantik, si pria pun harus tampil ganteng.
Besoknya, Rui En tertawa geli di dalam mobilnya melihat Jing Hao berdandan. Rui En memuji Jing Hao yang tampil ganteng siang ini. Tawa Rui En menakutkan…
Jing Hao berkata, “Mentraktirnya makan tidak perlu di restoran mahal.”
Rui En masih tertawa setan. “Kau duduk manis dan ikuti saja aku.” Masih dengan tawa setannya.
Teeeeereeeeng!
Jing Hao ternyata dibawa Rui Enyang mendapat telpon dari rumah sakituntuk menjalani pemeriksaan lagi.
Jing Hao tidak mau. Ia sudah sembuh. Rui En bersikeras untuk menyuruh Jing Hao bertemu dengan dokter.
“Liang Jing Hao,” panggil Rui En.
Baiklah, kalau Jing Hao tidak menurut. Rui En punya cara lain. Ia mengeluarkan uang sisa lukisan, mengipas-ngipaskan uang itu di muka Jing Hao, menghitung sampai tiga, dan sedetik mau dihamburkannya, Jing Hao menangkap tangan Rui En.
Tepat di saat itu pulalah, Min Shuo datang dan melihat adegan tersebut. Asyik!
Min Shuo menyapa mereka. Rui En lekas memasukkan uangnya ke dalam tas. Jing Hao malah menarik tangan Rui En dan menggenggamnya erat. Rui En berontak minta dilepaskan, namun Jing Hao makin menggenggamnya erat. Jing Hao pun menyapa Min Shuo. Oke, wajah Min SHuo mulai tidak menyukai Jing Hao. Min SHuo tahu kedatangan Jing Hao untuk menjalani pemeriksaan lagi, dan ia menyuruh agar pemeriksaan dilakukan sekarang.
Min Shuo berjalan lebih dahulu. Rui dan Jing Hao ribut kecil di belakang. Jing Hao mengatakan kalau tadi itu ia membantu Rui En. “Bukankah kau bilang sudah memutuskan benang merahnya?”
“Darimana kau dengar?” bingung Rui En.
Min SHuo menegur Jing Hao dan Rui En yang masih berdiri diam di tempatnya. Jing Hao menyeret pergelangan tangan Rui En. Rui En meskipun ogah, tapi ia tetap diseret paksa oleh Jing Hao.
Usai pemeriksaan, mereka bertiga ngopi-ngopi lah istilahnya. Min Shuo menjelaskan ke Jing Hao, kalau darahnya tidak keluar lagi maka sudah dinyatakan sembuh, juga harus menjaga makanannya. Min Shuo pun berkata jika ia sudah mengetahui kebenarannya, Jing Hao dan Rui En tidak berpacaran. Rui En menegaskan ke Min Shuo agar jangan memanggilnya gadis kecil, panggil namanya. Min Shuo diam, lalu tersenyum. Wajah Min Shuo, ah… wajah-wajah orang cemburu gitu…
Jing Hao beranjak dari duduknya untuk mengambil minuman. Ia berpapasan dengan Tuan Song. Kebetulan saat itu, Tuan Song sedang membicarakan masalah bisnis dengan temannya. Tuan Song berencana menginvestasikan uangnya untuk pembangunan rumah sakit, untuk itu ia bekerjasama dengan sebuah fakultas kedokteran.
Tuan Song melihat putrinya sedang bersama Min SHuo. Teman Tuan Song hendak menyapa Min SHuo, namun ditahan oleh Tuan Song. Masa iya sih mau mengganggu pacaran anaknya. Biarkan saja mereka. Tuan Song dan temannya memutuskan untuk pergi. Kembali lagi Tuan Song berpapasan dengan Jing Hao yang tengah membawa nampan minuman.
Jing Hao membagi-bagikan cangkir coffe-nya.
“Kak, tolong ambilkan gula untukku,” pinta Rui En.
Jing Hao dan Min Shuo bersamaan mengambilkan gula unuk Rui En. Rui En yang tersadar cepat meluruskan kalau Jing Hao ini lebih tua dua tahun darinya.
“Mendengarmu memanggil orang lain dengan panggilan kakak, rasanya agak aneh,” kata Min SHuokecewa, setidaknya.
Dalam perjalanan pulang, Rui En membahas mengenai benang merah. Darimana Jing Hao mendengarnya? Apa malam itu Jing mencuri dengar? Jing Hao beralasan kalau ia tidak mencuri dengar, hanya kebetulan saja. Itu sama saja! Rui En kesal karena setiap kali patah hati pasti ketahuan oleh Jing Hao.
“Semenjak ibuku meninggal, sejak itu aku menyukai kak Min Shuo. Lima belas tahun cintaku bertepuk sebelah tangan.” Rui En curcol.
Jing Hao terkejut mendengar ibunya Rui En juga sudah meninggal. Jing Hao menyuruh Rui En agar berhenti di jewelry shop.
Jing Hao memesan sebuah cincin yang sama yang dipakai oleh ayahnya. Ia memperlihatkan contoh cincinnya yang disimpannya dalam hape. Ia akan mengambilnya minggu depan.
Rui En memastikan kalau cincin itu bukannya yang dikalung Paman Liang? Jing Hao menjawab iya. Sebenarnya itu cincin pasangan. Milik ibunya hilang dan ia akan membuatkan cincin yang mirip itu untuk diberikan di saat hari sembahyang ibunya minggu depan.
“Apa tanggal 9 bulan 10?” Rui En bertanya. Jing Hao mengangguk membenarkan.
Rui En mengatakan kalau di tanggal itu adalah hari kematian ibunya juga. Ternyata hari kematian ibu mereka berdua sama. Ini seperti jodoh. Keduanya tertawa tidak menyangka, lalu sedikit bersikap kaku. Hahaha,,,
Jing Hao melamun. Sedang, NoQ sibuk berjualan. NoQ mengagetkan Jing Hao yang tengah melamun. Hayoooo, pasti sedang memikirkan gadis itu kan? Jing Hao mengelak, bukan. Sebuah telpon masuk ke hape Jing Hao. Jing Hao tampak kecewa karena itu bukan telpon yang ditunggunya. NoQ pun seolah dapat membaca gurat kecewa Jing Hao.
Bibi pengasuh menelpon dan minta pulang cepat karena anaknya sedang sakit. Jing Hao mengijinkan. Ia lantas pamitan pada NoQ. NoQ siap berjualan lagi, sial! Akhir-akhir ini polisi lebih rajin razia. Pasar malam bubar.
Jing Hao masuk ke gang. Ia teringat awal pertemuannya dengan Rui En. Benang merah. Melamun. Lamunannya terputus ketika bunyi peluit dari polisi menghadangnya. Jing Hao tertangkap.
Di kantor polisi. Jing Hao menelpon NoQ dan minta tolong agar menjagakan ayahnya. NoQ menolak, ia tidak bia. Tidak bisa kenapa?
NoQ menepuk pundak Jing Hao dan… mereka berdua sama-sama berada di kantor polisi! Keduanya sama-sama mendesah berat. Wkakakakak!
Terpaksa deh Jing Hao menelpon Rui En dan meminta tolong padanya agar mau ke rumahnya sekarang.
“Sekarang?” heran dan bingung Rui En.
Rui En memanggil ayahnya untuk pamitan keluar, namun ayahnya tidak ada di dalam kamarnya. Rui En melihat tanggal 9 di dalam kalender di lingkari. Ia menyakinkan jika ayahnya sekarang ini sedang minum di luar. Ia bersyukur memiliki ayah yang begitu mencitai ibunya.
Jing Hao dan NoQ dibebaskan karena mereka baru pertama kalinya melakukan pelanggaran. Jika melanggar lagi maka keduanya akan mendapatkan denda. Jing Hao mengangguk mengerti. Ia pamitan terlebih dahulu untuk pulang. Jing Hao berlari  menuju ke rumahnya. Hal pertama  yang dilakukannya adalah melihat ayahnya. Ayahnya masih tidur di dalam kamar. Lalu, ia beralih ke kamarnya.
Jing Hao tersenyum melihat Rui En tertidur di meja belajarnya. Jing Hao duduk berjongkok di depan Rui En sambil memandangi wajah Rui En.
Selama ini aku tidak percaya dengan nasib. Aku mengira benang merah yang menyatukan dua orang menjadi satu tidak ada. Tapi sekarang aku memohon pada Tuhan agar menyatukan aku denganmu. Biarkan kau menjadi takdirku. Biarkan benang merah diantara kau dan aku menyatu.
Rui En terbangun. Tersenyum melihat Jing Hao. “Sudah pulang?”
“Aku pulang.” Jing Hao menjawab dengan senyum.
Jing Hao mengucapkan sangat terima kasih atas bantuan Rui En. Hmm, masa sih hanya ucapan terima kasih. Rui En pengennya yang lain. Rui En minta terima kasihnya dibalas dengan tubuh Jing Hao. Jing Hao lekas-lekas merapatkan kemejanya. Bingung.
Di kelas melukis, Rui En sibuk cekikikan ketawa sendiri. Xiu Zhen curiga dan menanyakan apa ada yang lucu? Rui En mengatakan tidak apa-apa. Masih dengan cekikikan ketawa.
Jing Hao masuk bersama dengan guru lukis mereka. Ternyata Jing Hao dijadikan model lukis mereka. Parahnya lagi modelnya harus bertelanjang dada. Jing Hao yang tidak mengetahuinya lantas hanya bengong ke arah Rui En, dan Rui En malah sibuk dengan cekikikan ketawanya. Teman-teman Rui En SENANG banget karena modelnya adalah Jing Hao.
Usai kelas dan menjadi model, teman-teman Rui En mengajakin Jing Hao makan. Rui En memilih untuk duduk terpisah. Xiu Zhen dengan pede mengatakan kalau ia menyukai Jing Hao. Jing Hao sampai tersedak mendengarnya.
Jing Hao jengah. Sebal! Menatap Rui En kesal.
Rui En kesel. Cemburu nih kayaknya.
Min SHuo melihat ibunya berdandan. Mau kemana? Nyonya Luo mengatakan ia diajak Tuan Song untuk pergi makan malam, katanya mau membicarakan sesuatu yang sangat penting. Min SHuo dapat menebak pasti akan membahas mengenai masalah pertunangan.
Rui En mengomel-ngomel sendiri tidak keruan. Jing Hao mengejarnya dan menjejerinya. Rui En menyindir Jing Hao yang sepertinya tadi begitu menikmati dikerumbuni oleh cewek-cewek.
Yeah, Jing Hao malah membalasnya dengan mengatakan, “Harusnya dari dulu aku menjadi model. Hanya dua jam saja aku sudah mendapatkan uang. Ini lebih gampang daripada mengantar susu.”
“Kalau kau membuka lebih, pasti uang yang dihasilkan lebih banyak.” Kesal Rui En.
Jing Hao memerhatikan Rui En dengan senyum. Bahkan Rui En menanyakan kenapa Jing Hao memerhatikannya begitu?
Aaah, tidak! Kalo aku diperhatikan Jing Hao seperti itu, aaaaahh, tidak! Meleleh…
Rui En mendapatkan telpon dari Min SHuo. Senyum Jing Hao perlahan memudar. Cemburu, tapi ia tidak punya hak, toh Rui En bukan siapa-siapanya.
Min Shuo memberitahukan kalau ayahnya Rui En dan ibunya akan bertemu untuk membicarakan masalah yang penting. Min SHuo segera menuju ke restoran tempat pertemuannya. Rui En lupa untuk memberitahukan masalah pembatalan pertunangan ini. Ia minta diberitahukan dimana restorannya.
Jing Hao yang mendengarnya menawarkan diri untuk mengantarkan Rui En ke restoran tersebut. Naik motor jauh lebih cepat dari mobil. Rui En setuju. Rui En berpegangan erat di pinggang Jing Hao, karena motornya melaju kencang.
Mobil Min Shuo berhenti di depan traffic light. Motor Jing Hao yang sedang membonceng Rui En melintas di depannya. Min Shuo menatapnya dengan CEMBURU!
Rui En berlari masuk ke dalam restoran, meninggalkan Jing Hao di motor. Mobil Min SHuo datang. Ia mengatakan pada Jing Hao kalau mereka berdua akhir-akhir ini sangat berjodoh karena sering bertemu.
“Bagaimana dengan kepalamu?”
Jing Hao mengatakan kepalanya baik-aik saja. Min SHuo seolah memanasi Jing Hao. Di atas sedang ada pertemuan antara ibunya dan ayahnya Rui En. Mereka pasti akan membahas mengenai pertunangan, karena ayahnya Rui En ingin menikahkan mereka (Min SHuo dan Rui En). Untuk itu, Jing Hao jangan terlalu memusingkan masalah ini.
Rui En menerobos masuk. Ia mengatakan kalau ia tidak bisa bertunangan dengan Min SHuo. Ayah dan Nyonya Luo jelas kaget mendengarnya.
Nyonya Luo syok, “Apakah Min SHuo tidak menyukaimu?!”
“Bukan. Karena aku menyukai orang lain,” jujur atau hanya alasan Rui En. Tuan Song jelas marah. Jelas-jelas Rui En menyukai Min Shuo.
Jing Hao menahan Min SHuo yang hendak masuk ke dalam lift. “Jangan salahkan aku jika nantinya Rui En jatuh cinta padaku.”
“Jantungku berdebar kencang bukan dikarenakan oleh Kak Min Shuo. Tapi karena orang itulah jantungku berdebar kencang.” Rui En memegangi dadanya.
Sementara itu…
“Aku, Liang Jing Hao sangat menyukai Song Rui En.” Jing Hao menegaskan perasaannya di hadapan Min Shuo.

Jing Hao mengambil cincin pesanannya. Ia tersenyum senang melihatnya.
Sesampainya di rumah, Jing Hao terkejut mendapati bibi pengasuh yang tampak panik. Tuan Liang mabuk dengan minum arak untuk upacara sembahyang. Tuan Liang merengek mencari dimana Zhi Shu berada…
Jing Hao menyuruh bibi pengasuh agar pulang dan tidak bekerja di hari ini.
Jing Hao masuk ke dalam rumah. Menghampiri ayahnya di meja makan dengan berhati-hati. Tangannya hendak memegang lengan ayahnya dengan bergetar. Tuan Liang menatap Jing Hao dengan tatapan penuh kebencian. Tuan Liang menampar pipi Jing Hao berulang kali. Memukulinya. Bahkan mendorong tubuh Jing Hao ke dinding.
“Kau mencelakai Zhi Shu! Kau membunuhnya! Aku membencimu. Kembalikan nyawa Zhi Shu. Kalau tidak pergi mati saja!” geram Tuan Liang.
Jing Hao teringat. Sejak ibunya meninggal, ayahnya sering memukulinya. Ayahnya selalu menyalahkannya atas kematian sang ibu.
Jing Hao menangis! Sedih…
Jing Hao pergi ke lokasi kecelakaan ibunya. Saat itu, Jing Hao kecil tengah menyeberang jalan dan tidak melihat ada mobil melintas. Ibunya mendorong tubuh Jing Hao dan membiarkan tubuhnya yang tersambar mobil. Ibunya meninggal seketika.
Jing Hao yang sedih lantas menelpon Rui En. Sejujurnya, ia menelpon Rui En hanya ingin mendengarkan suara Rui En saja. Jing Hao menanyakan bagaimana sembahyangnya? Rui En menjawab lancar.
“Pasti kau sangat merindukan ibumu?” kata Rui En. “Rindu adalah hal yang wajar. Aku pun juga sering merindukan ibu.”
“Ya, aku sangat merindukannya.” Lalu Jing Hao menjawab di dalam hatinya yang ditujukannya untuk Rui En, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. “Aku merasa di saat-saat seperti ini hanya kaulah yang bisa memahami perasaanku.”
Tiba-tiba jantung Rui En berdebar kencang. Ia lekas-lekas memutuskan telponnya dengan beralasan masih sibuk.
Di tempat itu sebuah mobil berhenti. Tuan Song! Tuan Song teringat sebuah kecelakaan. Di tempat ini Tuan Song pernah menabrak seorang wanita, hingga wanita itu meninggal. Dan ternyata wanita yang ditabraknya itu tidak lain adalah ibunya Jing Hao.
Rui En di kamarnya yang tengah memegangi foto ibunya lantas mengomel-ngomel pada jantungnya.
“Jantung Song Rui En! Kenapa kau berdebar kencang?” lalu Rui En tersenyum khas orang kasmaran.
Tuan Song menjalankan mobilnya untuk meninggalkan jalan itu. Begitu pula dengan Jing Hao yang pergi meninggalkan jalan itu.

Episode Selanjutnya...

Photo&recap oleh Phoo Purarora.


Notes:
Waaaaaah, makin seru nih ceritanya. Ternyata yang menabrak ibunya Jing Hao adalah Tuan Song, yang tak lain adalah ayahnya Rui En. Apa jadinya nih kalo sampai Jing Hao mengetahui kenyataannya, ayah dari wanita yang dicintainya adalah orang yang telah menabrak ibunya. Jing Hao tetap meneruskan cintanya, atau putus?

Kalo diperhatikan sih Min Shuo mulai cemburu melihat Rui En dan Jing Hao. Pasti kisah cinta Jing Hao dan Rui En gak semulus itu... Seru!

Satu lagi yang membuatku suka sama Jing Hao. Meskipun ayahnya Jing Hao selalu menyalahkannya atas kematian ibunya, terus memukulinya, tapi Jing Hao tetap menyayangi ayahnya. Karena, hanya ayahnya-lah satu-satunya keluarganya. Manis banget...

SUMBER :  http://dunia-phoo.blogspot.co.id/2012/01/recap-endless-love-ep3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar